Seharian ini tingkah Muti membuat semua teman–temannya
bingung, termasuk sahabat terdekatnya, Dea, yang biasanya
tahu segala hal yang terjadi pada Muti. Sepanjang hari ini kerjaan
Muti hanya senyam - senyum sendiri atau bahkan dia mendadak menjerit kegirangan
seperti mendapatkan sesuatu yang menyenangkan. Hal ini terjadi di kelas, di
kantin, bahkan waktu latihan taekwondo tadi. Saking kelihatan girangnya, Muti
yang imut itu mampu membanting sabem yang badannya jelas lebih besar dari Muti.
“Lo kenapa sih, Mut? Hari ini lagaknya kayak tante
girang!”, tanya Dea seusai latihan taekwondo.
Muti tidak langsung menjawab, dia malah tersenyum
manis menanggapi pertanyaan Dea. Dea makin bingung dibuatnya.
“Heran deh, kemaren di telepon lo bilang lo kehujanan dan curiga ngga akan
masuk sekolah. Tapi nyatanya hari ini lo masuk sekolah dengan tingkah aneh. Lo
kesamber petir ya waktu kehujanan kemaren?”
“Anda benar dokter Dea! You are right kalau bahasa Inggrisnya. Gue kemaren emang kesamber
petir, petir cinta tapinya. Hahaha. Tahu kenapa? Soalnya terminal tempat gue
berteduh kemaren, malah jadi terminal cinta!”
“Hahaha! Benar – benar ngefek samberan petirnya.
Selain bikin lo jadi aneh, tapi juga bikin anak ingusan kayak lo bisa jadi
dramatisir gitu . Lebay dasar!”
“Udah, lupain soal petir! Lo mau denger cerita gue
ngga?”
“Yups! Itu yang gue tunggu dari tadi pagi. Cerita yang
bisa ngasih penjelasan tentang semua tingkah aneh lo hari ini!”
“Tapi, kita ceritanya sekalian di jalan menuju rumah
lo ya!”
“Hah? Ke rumah? Lo mau maen ke rumah gue dalam keadaan
kayak gini?”
“Kayak gini gimana?”, tanya Muti tetap menjaga senyum
sumringahnya.
“Mutiii.. kita sobatan udah cukup lama. Gue tahu
pasti, lebih baik ngajak lo ke rumah kalau lo dalam keadaan sedih atau marah,
soalnya rumah gue bisa jadi kinclong karena lo beresin. Tapi kalau lagi
kesenengan kayak gini, sebaliknya rumah gue bisa ancur jadi kayak kapal
Titanic! Apalagi kamar gue pasti bantalnya basah semua lo gigitin!”
“Hihihi. Lo ketakutan banget sih, itu kan kebiasaan
lama, sekarang ngga lagi kok!”, Muti memasang tampang memohon.
Dea hanya menghela nafas. Akhirnya mereka pun menuju
rumah Dea. Dan Muti pun mulai menceritakan semuanya di dalam bis menuju rumah Dea.
“Kemaren waktu gue neduh di terminal abis nelepon lo,
ada cowok cakep yang naek motor neduh di terminal juga.”, Muti berhenti sejenak
untuk mengingat kembali kenangan waktu di terminal kemaren. Lagi–lagi dia
senyum sendiri.
“Cuma karena itu? Lo emang selalu ijo kalau lihat
cowok! Lebih ijo daripada orang yang suka lihat duit!”
“Ngga! Bukan karena itu juga, ada hal lain. Awalnya kan gue
cuek aja tuh ya sama cowok ganteng itu, tapi iseng–iseng gue lirik dia, eh dia
senyum sama gue, Dea! Dan senyumnya itu yang bikin gue ngga nahan. Jantung gue
ini langsung dag-dig-dug ngga karuan kayak yang jungkir balik berapa kali.”,
kata Muti dengan gemasnya sampai penumpang dalam bis itu meliriknya. Dangan
semangat ’45 Muti terus bercerita dan Dea dengan setia mendengarkan.
“Hh… kemaren tuh gue benar–benar kena demam, muka gue
udah pucat banget! Dan cowok itu terus merhatiin gue, sampai akhirnya dia lepas
jaketnya dan ngasih jaket itu ke gue sambil bilang ‘Kayaknya kamu sakit. Pake
aja jaket ini!’. Ah, Dea… suaranya merdu banget waktu ngomong gitu. Pokonya
hati gue ini dibikin jungkir balik saking senengnya.”
“Kenapa lo ngga jungkir balik beneran aja di terminal
itu biar langsung sadar dari mimpi?”, potong Dea.
“Iiih… gue ngga mimpi kok! Begitu hujan reda, cowok
itu langsung pergi tanpa minta jaketnya balik. Dan gue pun lupa ngembaliin,
karena terlena oleh kehangatan jaketnya itu!”, suara Muti nampak melembut,
menghayati tiap kata–katanya sampai matanya terpejam saat bicara.. Dea langsung
menjitak kepalanya.
“Aauuw! Sakit tahu! Huuu… lo ngga seneng banget sih
lihat gue jatuh cinta kayak gini.”
“Ah, lo lebay tahu, Mut! Kan belum tentu lo jatuh
cinta gitu aja sama orang yang ngasih pinjem jaketnya. Lagian, cowok itu kayaknya cuma kasihan liat lo!”
“Tapi sampai rumah jantung gue ini berasa deg – degan
terus.”
“Yaelah… tiap hari juga jantung lo kan tetep deg –
degan. Kalau ngga, mati dong?!”
“Idiiih.. ini sih beda, detakannya kayak detakan
cinta! Hahaha!”
“Jijik banget sih lo ngomongnya. Lo mau kuliah di
sastra ya nanti? Sok berpuitis begitu!”
“Hmm.. apa ini yang namanya love at the first sight?”, Muti tidak menghiraukan komentar Dea. Ia
malah mengakhiri ceritanya dengan gaya seorang sastrawan yang sedang membaca
puisi di panggung teater.
“Hmpffhh!”, Dea berusaha menahan tawa melihat tingkah konyol
Muti. “Bang, stop depan!”, katanya pada kondektur ketika melihat gerbang
kompleksnya.
Dea tak banyak berkomentar lagi. Tapi tingkahnya jadi
aneh dan membuat Muti bingung sekarang. Dea sepertinya menahan tawa sejak turun
dari bis tadi.
“Lo kenapa sih, De? Kayak yang nahan tawa gitu dari
tadi?”
“Gue masih ngerasa lucu sama kelakuan lo ini. Aduh Muti,
jangan sampai hati lo back roll ya
setelah lo susah payah jungkir balik!”
“Kok malah ngomongin olahraga siih?”
“Bukannya ngomongin olahraga! Tadi kan lo bilang cowok
itu udah bikin hati lo serasa jungkir balik, nah gue ingetin aja jangan
sampai cowok itu bikin hati lo back roll alias kembali kecewa! Lagian
apa lo tahu nama cowok itu?”
“Ngga sih”, Muti hanya nyengir ditanya seperti itu.
“Dia ngasih alamat rumah?”
“Ngga juga!”
“Nomer telepon?”
“Kayaknya dia lupa ngasih!”
“Yakin lo bakal ketemu lagi?”
“Kalau soal itu, gue yakin! Banget!”
“Hahaha, ternyata gini ya kalau Muti jatuh cinta!”,
kata Dea sambil tertawa.
“Kenapa malah ketawa?”, Muti jadi bingung melihat Dea.
Tapi dia tidak mau terlalu ambil pusing. Muti kembali asyik dengan hatinya yang
berbunga–bunga.
Sepanjang jalan, Muti terus tersenyum sendiri, tampak
dari langkahnya benar–benar sedang bahagia. Sementara Dea masih geli melihat
tingkah Muti.
Setelah lima menit berjalan, akhirnya mereka sampai di
depan pagar rumah Dea. Mereka bertemu dengan Tessa, kakaknya Dea.
“Hallo Mbak Tessa! Mau pergi ya?”, sapa Muti dengan
senyum.
“Iya nih, lagi nunggu Rio!”, Tessa membalas senyum
Muti.
“Denger–denger Mbak Tessa udah tunangan? Kok Muti ngga
diundang? Wah, ngga ketahuan pacarannya udah tunangan lagi. Bentar lagi married dong!”, goda Muti. Tessa
tersenyum menanggapinya.
“Kata Dea, waktu itu kamu ngga bisa datang karena ada
acara keluarga bukan?”
“Oh, iya ya.. Muti lupa! Hehehe!”
“Masa udah pikun lagi. Emang kamu mikirin apa sih
sampai lupa sama kejadian yang belum lama?”
“Muti emang lagi lupa diri, mbak! Yang dia inget cuma
pemuda terminal.”, sela Dea dengan senyum menggoda. Tessa mengerutkan alisnya
tanda kebingungan dengan kata–kata adiknya. “Gini mbak, Muti juga lagi jatuh
cinta sekarang. Jadi dia lupa sama yang lain, yang dia inget cuma cowok yang
dia temuin di terminal kemaren waktu ujan. Hahaha! Aneh kan?”, Dea masih
menganggap apa yang dialami Muti adalah konyol.
“Huh! Dea sirik aja sama aku, mbak! Dia dari tadi
ngetawain terus sih. Wajar aja kan kalau aku jatuh cinta sama cowok?”, Muti
membela diri.
“Iya wajar aja kok, Mut! Si Dea itu emang suka begitu,
ngga pengertian kalau ada orang yang lagi jatuh cinta. Tapi, kalau cowoknya
emang baru ketemu kemaren, cepet banget kamu jatuh cintanya. Emangnya siapa
namanya?”
“Nah itu dia mbak, Muti ngga tahu nama orang yang udah
bikin hatinya jungkir balik kayak gini.”
“Lho? Kok aneh sih. Kamu ngga kenalan sama dia?”
“Mm… lupa, mbak!”, Muti nyengir kuda menyadari
kebodohannya.
“Dia emang suka ijo lihat cowok cakep mbak. Makanya
dia cepet aja ngambil kesimpulan kalau dia itu jatuh cinta.”, timpal Dea.
“Emangnya yakin bakal ketemu lagi?”, tanya Mbak Tessa
dengan nada yang sama saat Dea bertanya seperti itu.
“Kalau soal itu, aku yakin! Banget!”, Muti pun
membalasnya dengan nada bersemangat seperti tadi.
“Ya udah deh, mbak doain semoga kamu bisa ketemu lagi
sama orangnya!”
“Hehehe! Makasih ya, mbak! Ngomong – ngomong, ntar
kenalin aku sama Rio dong!”
“Bentar lagi juga dia datang. Ntar mbak kenalin sama
kamu, asal janji kamu ngga bakalan jatuh cinta. Nanti kamu cepet pindah ke lain
hati lagi, Rio nya mbak cakep lho. Hehehe!”
“Tenang aja mbak, ngga secepat itu kayaknya
Muti bakal berpaling dari si pemuda terminal.”, sindir Dea.
Tiba – tiba terdengar suara deru mesin motor di depan
pagar rumah. Ketiga cewek tadi langsung bergegas menghampiri orang yang baru
datang itu.
Cowok yang barusan datang itu membuka helmnya tanpa
turun dari motor.
“Hai, Dea!”. Sapa cowok itu pada calon adik iparnya.
“Hallo Kak Rio!”, balas Dea.
“Muti, ini Rio tunangannya Mbak Tessa! Dan Yo, ini
Muti temennya adikku!”, Tessa memperkenalkan cowok yang ternyata tunangannya
pada Muti. Muti tidak berkomentar, dia hanya diam mematung dengan ekspresi
melongo seperti orang idiot. Muti merasa seluruh badannya kesemutan dan mati
rasa.
“Hai, seneng bisa ketemu lagi. Kamu kelihatan lebih
sehat daripada waktu di terminal nunggu hujan kemaren.”, sapa Rio dengan senyum
yang sama yang pernah dilihat Muti sebelumnya. Senyum yang sempat membuat
hatinya serasa jungkir balik. Muti masih diam juga ketika Rio menyapanya.
“Seneng ketemu lagi?”, Dea keheranan, dia mengulang
kata – kata Rio dengan intonasi penuh tanda tanya.
“Kemaren kita ketemu di terminal.”, Rio menjelaskan.
Dea ikut tertegun seperti Muti. Sementara Rio dan
Tessa langsung pamit dan pergi dari hadapan keduanya.
“De?”, Muti memanggil tanpa melirik.
“Hm?”
“Ada kerjaan rumah yang belum beres ngga?”, tanya Muti
dengan lemasnya.
“Ngga tahu, cek aja! Mungkin di dapur ada piring
kotor.”, kata Dea setengah geli namun kasihan juga melihat temannya bersedih
dan seperti habis melakukan back roll
dengan terpaksa.
Muti langsung membalikkan badan seperti robot dan
bergegas pergi ke dapur untuk menumpahkan kesedihannya.
“Wah, kayaknya rumah gue bakal kinclong kalau anak itu
sesedih ini. Tapi kasihan juga Muti. Dia jadi patah hati.”, bisik Dea sambil
terus memperhatikan Muti berlalu masuk ke dalam rumah.
****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar