“Aduh! Kamu
lagi?”, keluh Pak Junet, guru piket hari itu. Adit nyengir kuda melihat
ekspresi gurunya. Seperti biasa, dia terlambat ke sekolah. Adit memang
langganan guru piket, karena seringnya ia datang terlambat. Dan hari itu sudah
kesekian kalinya.
***
“Kita tidak bisa
membiarkan kesalahan murid seperti Adit, Bu! Keterlambatan itu bisa menghambat
kegiatan belajarnya.”, kata Pak Junet emosi.
Pagi itu Adit di
panggil ke ruang BP, di sana sudah ada beberapa guru yang membicarakan soal
keterlambatannya yang sudah tidak terhitung. Guru – guru nampak ricuh saling
debat. Sementara Adit sendir malah celingkukan menatap tiap guru yang berbicara
mencari solusi untuk masalahnya.
“Adit, apa kamu
bisa berjanji untuk tidak terlambat lagi? Namun jangan asal janji!”
Adit langsung
tertegun ditanya begitu oleh Bu Gina.
“Bagaimana?”,
tanya Bu Gina menyadarkan Adit.
“Eh.. iya, Bu.
Insya Allah deh!”, jawabnya polos.
“Saya yakin,
kalau tidak diberi hukuman lebih berat lagi, dia pasti akan datang terlambat
lagi.”, ujar Pak Junet.
“Adit, kamu
sudah mendapatkan SP, tapi kamu tetap saja terlambat. Apa kamu benar – benar
tidak bisa merubah kebiasaan jelek kamu itu? Atau sekolah perlu menskorsing
kamu? Ibu heran jadinya.”
“Saya juga
heran, Bu!”, timpal Adit polos.
“Begini saja,
Bu, kalau sekali lagi dia datang terlambat, kita datangi langsung orangtuanya
dan menyatakan skorsing untuk dia.”
“Wah, jangan
dong, Pak!”, protes Adit.
“Kenapa tidak?
Toh dengan SP saja kamu belum berubah.”
“Aduh, saya itu
sudah usaha pasang alarm dimana – mana. Bahkan saya sudah nyuruh ayam tetangga
berkokok lebih pagi. Cuma ngga tahu kenapa, Pak, Bu, saya emang susah bangun,
jadi saya selalu telat. Ibu saya udah teriak – teriak juga tetep ngga bisa.
Mungkin ada yang salah dengan pendengaran saya. Nanti saya coba periksakan dulu
deh.”
“Banyak alasan,
kamu! Sepertinya harus ada hukuman yang memotivasi kamu supaya jera. Nampaknya
usul Pak Junet diterima. Sekolah tidak akan mentolerir lagi apabila kamu datang
terlambat. Titik!”, Bu Gina menegaskan.
Mampus gue! Pekik
Adit dalam hati.
***
Tidiiiit!
Tidiiiit!
Suara klakson
menggema di jalanan begitu Adit menyebrang dengan tergesa – gesa. Tanpa peduli
kendaraan di sekelilingnya Adit terus berlari. Malam itu ia janji kencan dengan
Irish jam tujuh, tapi sekarang waktu hampir menunjukkan pukul delapan.
Adit melihat
Irish berdiri di depan Café Nooi, ia pun mempercepat geraknya dan akhirnya
sampai juga.
“Udah lama
nunggu ya, Rish?”, pertanyaan rutin Adit saat ada janji kencan. Irish masih
diam.
“Kok ngga nunggu
di dalam?”, tanya Adit lagi dengan nafas yang tidak teratur.
“Adit!”, panggil
Irish tanpa menjawab pertanyaan Adit.
“Ya?”
“Kita putus
aja!”, ujar Irish dengan entengnya.
“Apa?”, pekik
Adit.
“Adit, aku suka
sama kamu, aku sayang sama kamu! Tapi aku benci kamu yang ngga bisa ngehargain
waktu. Kita putus aja! Kamu kudu belajar dulu menghargai waktu, memaknai tiap
detik hidup kamu. Karena udah banyak waktu kita yang kamu sia – siakan. Dan aku
udah ngga bisa nerima itu lagi. Ini bukan yang pertama kan? Kamu bahkan ngga
pernah bisa nepatin janji kamu tiap kita mau jalan.”
Adit tertegun
dan melongo seperti orang bego mendengar pernyataan Irish. Tak sepatah kata pun
mampu ia ucapkan.
“Selamat
merenungkan!”, ujar Irish sambil ngeloyor pergi begitu saja.
Nampaknya Adit
sangat shock mendengar Irish baru saja memutuskannya. Sampai – sampai ia
berdiri tanpa berkedip seperti patung selamat datang di depan kafe.
“Ma, patungnya
bagus ya!”, ujar seorang anak yang melihat Adit.
“Itu orang,
nak!”, balas si ibu.
Percakapan itu
akhirnya menggugahkan Adit.
***
DUGH!
Adit menendang
rak buku dengan kerasnya, namun itu malah membuatnya meringis kesakitan.
“Aduh! Hari ini
gue sial banget sih! Udah dapet peringatan dari sekolah, diputusin pacar pula.
Sial banget!”
Muka Adit begitu
kusut. Ia menghempaskan tubuhnya di kasur. Adit merasakan ada yang mengganjal
punggungya. Ia kembali bangkit dan menemukan sebuah kaset DVD di kasurnya. Ia
mengambil kaset itu lalu memperhatikannya dengan seksama. Ia teringat, kaset
itu pernah diberikan Irish padanya, namun belum sempat ia tonton.
“Run Lola Run?”,
gumamnya menyebutkan judul filmnya.
***
Adit terdiam
menatap layar biru di televisinya. Ia baru saja menonton film yang Irish
berikan. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Setelah mematikan DVD –
nya, Adit segera tidur dengan sejuta pemikiran baru tentang berharganya waktu.
Tiap detik kehidupan.
Selama kita
hidup, waktu adalah perjuangan. Dan tiap detiknya itu ternyata mempunyai makna
yang besar. Jadi waktu tidak boleh disia – siakan. Itulah pikiran baru Adit
sebelum ia terlelap.
***
Kriiiiing!!
Pip! Pip! Pip!
Semua waker yang
dipasang Adit semalam berbunyi nyaring. Dengan refleks Adit terlonjak dari
tempat tidur, dan tanpa bengong terlebih dahulu, ia langsung bergegas ke kamar
mandi.
Ketika melewati
kamar kedua orangtuanya, ia hendak membangunkan juga, tapi..
Ngga usah deh! Gue mau buktiin sama semua, gue bisa
tepat waktu! Pikir Adit.
Ketika sedang
mandi, tiba – tiba kran airnya mati. Adit sempat kelimpungan, untungnya di ember
masih ada air, ia pun membersihkan dirinya dengan air secukupnya. Akibatnya,
sabun masih ada yang menempel.
“Ah, peduli
amat! Yang penting tepat waktu dulu!”
Dengan sigap,
Adit berseragam dan memasukkan buku pelajarannya dengan asal karena takut
terlambat lagi. Ketika ia hendak pergi, keluarganya belum juga ada yang bangun.
Adit sedikit keheranan. Tapi ia kembali acuh. Dan tanpa sarapan terlebih dulu,
ia pun langsung pergi.
Nyantailah, bisa sarapan di sekolah!
Adit keluar
rumah dengan senyum sumringah. Ia yakin tidak akan datang terlambat ke sekolah
kalau pergi sepagi ini. Tapi baru saja ia menutup pintu pagar, terdengar
gonggongan anjing tetangga. Dan entah kenapa anjing itu mendadak galak dan langsung mengejar Adit. Spontan Adit langsung
lari.
Setelah beberapa
menit diajak marathon oleh anjing, Adit memutuskan naik pohon mangga di ujung
kompleks. Nafasnya sudah tersengal – sengal.
“Dasar anjing
gila! Ngajak lari ngga tahu waktu!”, gerutu Adit di atas pohon. Sementara si
anjing terus menggonggong. Adit mencari sesuatu untuk mengusir anjing itu,
akhirnya ia memetik sebuah mangga dan menimpuk anjing itu sampai tak sadarkan
diri.
“Sorry ya,
dogy!”
Singkat cerita
Adit sudah ada di angkot. Penumpang yang lain tampak aneh menatap Adit. Adit
sendiri menyadari dirinya menjadi perhatian.
Mereka kenapa sih ngeliatin gue? Ganteng kali ya?
Hehehe.
Bencana tak
terduga datang lagi. Angkot yang ditumpangingya menabrak angkot lain. Alhasil
supirnya malah ribut berantem. Otomatis perjalanan tertunda.
Adit melirik jam
salah satu penumpang,jam tujuh kurang dua puluh menit. Adit pun turun dan
melanjutkan dengan berjalan kaki karena susah lagi mendapatkan angkot.
Adit melihat
seorang nenek membawa banyak belanjaan hendak menyeberang. Karena ia merasa
seorang pelajar teladan, walau sering datang telat, Adit membantu nenek itu
menyeberang.
Lalu lintas
semakin belibet. Adit merasa tidak bisa santai lagi. Ia berjalan tergesa –
gesa, dan…
Bugghkk!
Ia menabrak
seseorang, seorang bapak – bapak berbadan besar yang nampak marah.
“Heh, bocah
tengil, kalau jalan liat – liat dong!”, bentak si bapak.
“Maaf, Pak, saya
lagi buru – buru!”
“Alasan! Kamu
tahu,kalau…bla….bla….bla….”
Adit malas
mendengarkan ocehan bapak tadi. Ia sibuk dengan rasa cemasnya takut datang
terlambat padahal dia sudah berusaha berangkat lebih pagi. Untung kurang dari
lima menit si bapak itu berhenti mengoceh.
“Udah selesai
kan, Pak? Maaf ya, Pak, saya buru – buru!”, Adit langsung ngacir.
Penampilannya jadi
semakin berantakan. Tapi Adit tidak peduli lagi dengan kerapiannya padahal
banyak orang yang memperhatikannya. Adit melirik jam dari toko kue yang
dilewatinya.
“Gawat! Sepuluh
menit lagi!”, Adit bergumam sambil terus berlari. Akhirnya ia memasuki wilayah
sekolahnya. Dan begitu sampai di gerbang sekolah…
“Sampai!”,
ujarnya dengan puas pada diri sendiri. Nafasnya tersengal – sengal. Ia
tersenyum senang. Tapi….
“Kok gerbangnya
udah ditutup? Kan belum jam tujuh?”, Adit melirik jam dinding di pos Satpam. Ia
tertegu sendirian di depan gerbang sekolahnya yang terkunci. Keheranan.
Sampai ada
seorang anak kecil yang sedang naik sepeda melewatinya dan menatapnya dengan
aneh.
“Kak, kok hari
minggu sekolah?”, tanya si anak kecil.
Adit tidak
langsung menjawab. Ia hanya terbelalak membuat si anak kecil takut dan
menggenjot sepedanya dengan cepat.
“BEGO! INI KAN
HARI MINGGU!”,teriak Adit.
****
Yanti Kusmayanti
Bandung, 27 Februari 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar