Jumat, 02 Januari 2015

DETIK ADIT


“Aduh! Kamu lagi?”, keluh Pak Junet, guru piket hari itu. Adit nyengir kuda melihat ekspresi gurunya. Seperti biasa, dia terlambat ke sekolah. Adit memang langganan guru piket, karena seringnya ia datang terlambat. Dan hari itu sudah kesekian kalinya.
***
“Kita tidak bisa membiarkan kesalahan murid seperti Adit, Bu! Keterlambatan itu bisa menghambat kegiatan belajarnya.”, kata Pak Junet emosi.
Pagi itu Adit di panggil ke ruang BP, di sana sudah ada beberapa guru yang membicarakan soal keterlambatannya yang sudah tidak terhitung. Guru – guru nampak ricuh saling debat. Sementara Adit sendir malah celingkukan menatap tiap guru yang berbicara mencari solusi untuk masalahnya.
“Adit, apa kamu bisa berjanji untuk tidak terlambat lagi? Namun jangan asal janji!”
Adit langsung tertegun ditanya begitu oleh Bu Gina.
“Bagaimana?”, tanya Bu Gina menyadarkan Adit.
“Eh.. iya, Bu. Insya Allah deh!”, jawabnya polos.
“Saya yakin, kalau tidak diberi hukuman lebih berat lagi, dia pasti akan datang terlambat lagi.”, ujar Pak Junet.
“Adit, kamu sudah mendapatkan SP, tapi kamu tetap saja terlambat. Apa kamu benar – benar tidak bisa merubah kebiasaan jelek kamu itu? Atau sekolah perlu menskorsing kamu? Ibu heran jadinya.”
“Saya juga heran, Bu!”, timpal Adit polos.
“Begini saja, Bu, kalau sekali lagi dia datang terlambat, kita datangi langsung orangtuanya dan menyatakan skorsing  untuk dia.”
“Wah, jangan dong, Pak!”, protes Adit.
“Kenapa tidak? Toh dengan SP saja kamu belum berubah.”
“Aduh, saya itu sudah usaha pasang alarm dimana – mana. Bahkan saya sudah nyuruh ayam tetangga berkokok lebih pagi. Cuma ngga tahu kenapa, Pak, Bu, saya emang susah bangun, jadi saya selalu telat. Ibu saya udah teriak – teriak juga tetep ngga bisa. Mungkin ada yang salah dengan pendengaran saya. Nanti saya coba periksakan dulu deh.”
“Banyak alasan, kamu! Sepertinya harus ada hukuman yang memotivasi kamu supaya jera. Nampaknya usul Pak Junet diterima. Sekolah tidak akan mentolerir lagi apabila kamu datang terlambat. Titik!”, Bu Gina menegaskan.
Mampus gue! Pekik Adit dalam hati.
***
Tidiiiit! Tidiiiit!
Suara klakson menggema di jalanan begitu Adit menyebrang dengan tergesa – gesa. Tanpa peduli kendaraan di sekelilingnya Adit terus berlari. Malam itu ia janji kencan dengan Irish jam tujuh, tapi sekarang waktu hampir menunjukkan pukul delapan.
Adit melihat Irish berdiri di depan Café Nooi, ia pun mempercepat geraknya dan akhirnya sampai juga.
“Udah lama nunggu ya, Rish?”, pertanyaan rutin Adit saat ada janji kencan. Irish masih diam.
“Kok ngga nunggu di dalam?”, tanya Adit lagi dengan nafas yang tidak teratur.
“Adit!”, panggil Irish tanpa menjawab pertanyaan Adit.
“Ya?”
“Kita putus aja!”, ujar Irish dengan entengnya.
“Apa?”, pekik Adit.
“Adit, aku suka sama kamu, aku sayang sama kamu! Tapi aku benci kamu yang ngga bisa ngehargain waktu. Kita putus aja! Kamu kudu belajar dulu menghargai waktu, memaknai tiap detik hidup kamu. Karena udah banyak waktu kita yang kamu sia – siakan. Dan aku udah ngga bisa nerima itu lagi. Ini bukan yang pertama kan? Kamu bahkan ngga pernah bisa nepatin janji kamu tiap kita mau jalan.”
Adit tertegun dan melongo seperti orang bego mendengar pernyataan Irish. Tak sepatah kata pun mampu ia ucapkan.
“Selamat merenungkan!”, ujar Irish sambil ngeloyor pergi begitu saja.
Nampaknya Adit sangat shock mendengar Irish baru saja memutuskannya. Sampai – sampai ia berdiri tanpa berkedip seperti patung selamat datang di depan kafe.
“Ma, patungnya bagus ya!”, ujar seorang anak yang melihat Adit.
“Itu orang, nak!”, balas si ibu.
Percakapan itu akhirnya menggugahkan Adit.
***
DUGH!
Adit menendang rak buku dengan kerasnya, namun itu malah membuatnya meringis kesakitan.
“Aduh! Hari ini gue sial banget sih! Udah dapet peringatan dari sekolah, diputusin pacar pula. Sial banget!”
Muka Adit begitu kusut. Ia menghempaskan tubuhnya di kasur. Adit merasakan ada yang mengganjal punggungya. Ia kembali bangkit dan menemukan sebuah kaset DVD di kasurnya. Ia mengambil kaset itu lalu memperhatikannya dengan seksama. Ia teringat, kaset itu pernah diberikan Irish padanya, namun belum sempat ia tonton.
“Run Lola Run?”, gumamnya menyebutkan judul filmnya.
***
Adit terdiam menatap layar biru di televisinya. Ia baru saja menonton film yang Irish berikan. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Setelah mematikan DVD – nya, Adit segera tidur dengan sejuta pemikiran baru tentang berharganya waktu. Tiap detik kehidupan.
Selama kita hidup, waktu adalah perjuangan. Dan tiap detiknya itu ternyata mempunyai makna yang besar. Jadi waktu tidak boleh disia – siakan. Itulah pikiran baru Adit sebelum ia terlelap.
***
Kriiiiing!!
Pip! Pip! Pip!
Semua waker yang dipasang Adit semalam berbunyi nyaring. Dengan refleks Adit terlonjak dari tempat tidur, dan tanpa bengong terlebih dahulu, ia langsung bergegas ke kamar mandi.
Ketika melewati kamar kedua orangtuanya, ia hendak membangunkan juga, tapi..
Ngga usah deh! Gue mau buktiin sama semua, gue bisa tepat waktu! Pikir Adit.
Ketika sedang mandi, tiba – tiba kran airnya mati. Adit sempat kelimpungan, untungnya di ember masih ada air, ia pun membersihkan dirinya dengan air secukupnya. Akibatnya, sabun masih ada yang menempel.
“Ah, peduli amat! Yang penting tepat waktu dulu!”
Dengan sigap, Adit berseragam dan memasukkan buku pelajarannya dengan asal karena takut terlambat lagi. Ketika ia hendak pergi, keluarganya belum juga ada yang bangun. Adit sedikit keheranan. Tapi ia kembali acuh. Dan tanpa sarapan terlebih dulu, ia pun langsung pergi.
Nyantailah, bisa sarapan di sekolah!
Adit keluar rumah dengan senyum sumringah. Ia yakin tidak akan datang terlambat ke sekolah kalau pergi sepagi ini. Tapi baru saja ia menutup pintu pagar, terdengar gonggongan anjing tetangga. Dan entah kenapa anjing itu mendadak galak dan  langsung mengejar Adit. Spontan Adit langsung lari.
Setelah beberapa menit diajak marathon oleh anjing, Adit memutuskan naik pohon mangga di ujung kompleks. Nafasnya sudah tersengal – sengal.
“Dasar anjing gila! Ngajak lari ngga tahu waktu!”, gerutu Adit di atas pohon. Sementara si anjing terus menggonggong. Adit mencari sesuatu untuk mengusir anjing itu, akhirnya ia memetik sebuah mangga dan menimpuk anjing itu sampai tak sadarkan diri.
“Sorry ya, dogy!”
Singkat cerita Adit sudah ada di angkot. Penumpang yang lain tampak aneh menatap Adit. Adit sendiri menyadari dirinya menjadi perhatian.
Mereka kenapa sih ngeliatin gue? Ganteng kali ya? Hehehe.
Bencana tak terduga datang lagi. Angkot yang ditumpangingya menabrak angkot lain. Alhasil supirnya malah ribut berantem. Otomatis perjalanan tertunda.
Adit melirik jam salah satu penumpang,jam tujuh kurang dua puluh menit. Adit pun turun dan melanjutkan dengan berjalan kaki karena susah lagi mendapatkan angkot.
Adit melihat seorang nenek membawa banyak belanjaan hendak menyeberang. Karena ia merasa seorang pelajar teladan, walau sering datang telat, Adit membantu nenek itu menyeberang.
Lalu lintas semakin belibet. Adit merasa tidak bisa santai lagi. Ia berjalan tergesa – gesa, dan…
Bugghkk!
Ia menabrak seseorang, seorang bapak – bapak berbadan besar yang nampak marah.
“Heh, bocah tengil, kalau jalan liat – liat dong!”, bentak si bapak.
“Maaf, Pak, saya lagi buru – buru!”
“Alasan! Kamu tahu,kalau…bla….bla….bla….”
Adit malas mendengarkan ocehan bapak tadi. Ia sibuk dengan rasa cemasnya takut datang terlambat padahal dia sudah berusaha berangkat lebih pagi. Untung kurang dari lima menit si bapak itu berhenti mengoceh.
“Udah selesai kan, Pak? Maaf ya, Pak, saya buru – buru!”, Adit langsung ngacir.
Penampilannya jadi semakin berantakan. Tapi Adit tidak peduli lagi dengan kerapiannya padahal banyak orang yang memperhatikannya. Adit melirik jam dari toko kue yang dilewatinya.
“Gawat! Sepuluh menit lagi!”, Adit bergumam sambil terus berlari. Akhirnya ia memasuki wilayah sekolahnya. Dan begitu sampai di gerbang sekolah…
“Sampai!”, ujarnya dengan puas pada diri sendiri. Nafasnya tersengal – sengal. Ia tersenyum senang. Tapi….
“Kok gerbangnya udah ditutup? Kan belum jam tujuh?”, Adit melirik jam dinding di pos Satpam. Ia tertegu sendirian di depan gerbang sekolahnya yang terkunci. Keheranan.
Sampai ada seorang anak kecil yang sedang naik sepeda melewatinya dan menatapnya dengan aneh.
“Kak, kok hari minggu sekolah?”, tanya si anak kecil.
Adit tidak langsung menjawab. Ia hanya terbelalak membuat si anak kecil takut dan menggenjot sepedanya dengan cepat.
“BEGO! INI KAN HARI MINGGU!”,teriak Adit.
****
Yanti Kusmayanti
Bandung, 27 Februari 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar