Andi keluar
masjid dengan tergesa – gesa. Setelah selesai sholat Jumat, ia langsung ngacir
karena ada janji dengan Rhea, pacarnya. Dan tanpa ia sadari, ada seseorang yang
terus memperhatikannya dengan tatapan tajam di depan masjid.
***
“Kenapa sih dari tadi kamu nunduk – nunduk kayak gitu?”, tanya Rhea
melihat tingkah pacarnya yang aneh. Sementara Andi malah semakin tertunduk
seperti menghindar dari tatapan seseorang. Rhea melirik ke belakang untuk
melihat keadaan.
“Di, kamu kenapa sih?”, tanya Rhea masih saja heran.
“Aduh, Rhe, kayaknya aku lagi dikuntit orang!”
“HAH? DIKUNTIT?”
“Sssst!!”
Rhea langsug menutup mulutnya. Andi melambai – lambai agar Rhea
mendekat. Mereka sudah merapat. Andi pun bercerita dengan suara berbisik –
bisik.
“Jadi gini, udah beberapa hari ini ada orang yang nguntit aku. Terus…”
“Terus gimana, yang?”
“Orang yang nguntitnya aneh. Pake baju item – item, tampangnya sangar,
mukanya serem. Oh, sama aja ya itu mah?
Hm.. kumisnya juga ngeri, apalagi bulu dadanya banyak…”
Rhea langsung melotot. “Bulu dada?”, pekiknya.
“Nebak aja itu mah.”, Andi
langsung mengoreksi. Rhea terlihat lega. Dikiranya cowoknya itu sudah melihat
cowok yang nguntit dia telanjang dada juga. Dia kan jadi syirik kalau benar.
Hehehe.
“Kok kamu diikutin gitu?”, tanya Rhea penasaran.
“Ngga tahu tuh, naksir kali!”, kata Andi polos.
Ketika Andi dan Rhea hendak kembali duduk normal, mereka dikagetkan oleh
si tukang bakso yang ternyata sedari tadi ikut merapat. Si tukang bakso hanya
nyengir melihat reaksi kedua pembelinya saat mengetahui dia ada di sebelah
mereka.
“Hehehe…”, tukang bakso itu cengengesan. “Jadi mau yang mana, Mas,
Mbak?”
“Yang mana apanya?”, Rhea nampak heran ditanya begitu.
“Yamin asin atau yamin manis?”
“Yamin? Kok batagor diyamin sih?”, tanya Andi bego.
Si tukang bakso langsung memasang tampang cemberut karena profesinya
salah disebut.
“TUKANG BATAGOR DI SEBELAH!”, teriaknya dengan kesal.
Andi dan Rhea hanya melongo diteriaki begitu. Mereka langsung ngacir.
Dan orang misterius yang diceritakan Andi terus mengikutinya. Jelas saja Andi
berjalan tergesa – gesa dan berusaha menghindari.
“Kenapa sih, Di?”, Rhea nampak bingung.
“Ih, orang itu masih ngikutin aku, say!”, seru Andi sambil menarik
tangan Rhea. Rhea celingukan mencari orang yang dimaksud. Akhirnya Andi dan
Rhea berhenti di kedai nasi goreng yang ramai pengunjung. Nafas Andi tersengal
– sengal.
“Mau beli nasi goreng?”, tanya Rhea menyadari kedai yang mereka masuki.
“Iya deh, diyamin asin aja, alias jangan pake kecap!”, Andi asal ceplos.
Gelagatnya seperti orang yang panik.
“Kok diyamin sih?”, tanya Rhea penuh penekanan.
“Oh, kalau gitu dikuah juga ngga apa – apa.”
“Andi… ini tukang nasi goreng, bukan tukang bakso!”, kata Rhea dengan
gemasnya.
Mata Andi yang sedari tadi jelalatan memperhatikan orang sekitar
langsung menatap Rhea dengan tampang begonya.
“Kayaknya kamu stress banget ya?”, tanya Rhea cemas.
“Aduh, aku bingung deh, sebenarnya kesalahan apa yang udah aku bikin?”
“Coba kamu ingat – ingat, kamu punya musuh ngga?”
“Ngga ada! Setahuku orang – orang malah pada ngefans sama aku, sayang!”
“Huweeekzz! Jijik banget!”
“Eh… eh.. itu tuh orang yang suka nguntit aku!”, Andi berbisik sambil
menunjuk seseorang. Rhea pun melirik ke belakang. Dilihatnya seorang pria berbadan
besar memakai pakaian serba hitam dengan topi dan kacamata hitam juga, berkumis
lagi, dan…
“Yang lagi jilatin es krim itu?”, tanya Rhea menunjuk pria yang sedang
makan es krim. Andi mengangguk sempurna dan mantap.
“Ih, konyol, nyeremin penampilannya doang. Masa ada penguntit tapi
ngejilatin es krim kayak anak kecil? Kamu salah ngerti kali. Atau cuma ke GR-
an aja.”
“Aku yakin banget, Rhe! Soalnya udah empat hari ini orang itu ngikutin aku mulu. Jadi aku udah
hafal ciri – cirinya.”
Rhea memperhatikan orang itu sekali lagi.
“Bener juga sih. Dia ngeliatin ke arah sini terus, mencurigakan pula.
Duh, aku jadi ikutan takut juga. Di, kabur aja yuk!”
Andi dan Rhea langsung pergi dengan tergesa – gesa, dan untuk kali ini
orang misterius itu lebih terang – terangan mengejar Andi. Jelas saja Andi
semakin menghindar. Tapi sekarang, malah Rhea yang lebih sibuk dan panik.
“Wah, kita mesti ngumpet di tempat yang rame. Supaya kalau ada apa –
apa, gampang minta tolong.”, ujar Rhea panik.
“Kenapa jadi kamu yang lebih panik?”, tanya Andi heran melihat gelagat
pacarnya.
“Aduh bawel, cepetan dong!”
“Iya.. iya…”
Rhea terus menarik lengan Andi untuk menghindari kejaran si misterius.
Tapi bukannya membawa ke tempat ramai seperti yang dia katakan, Rhea malah
mengajak Andi bersembunyi di belakang sebuah bengkel bekas yang sepi. Nafas
mereka bedua tersengal – sengal.
“Mau apa sih orang itu?”, tanya Andi makin heran.
“Gimana kita bisa tahu kalau ngga kita tanyain?”
“Gila aja! Masa aku harus nyamperin dulu orang itu buat nanya tujuan
dia? ntar bisa – bisa aku keburu dibunuh duluan.”
“Hus! Ngaco! Jangan suudzon segitunya. Lagian alasannya apa orang itu
bunuh kamu?”
“Ya mungkin aja dia emang psikopat yang ngincer aku karena aku ganteng.”
“Ya, mungkin sih. Tapi kalau dengan alasan kamu itu ganteng, ngga masuk
akal. Kecuali alasannya untuk mengurangi kejelekan di muka bumi ini.”
“Pacar macam apa dirimu ini? Kok malah ngejelek – jelekin cowok sendiri
sih?”
“Abisnya kamu kelewat narsis. Aku aja yang udah jelas lucu, cantik nan
rupawan ngga pernah bilang – bilang.”
“Huh! Dasar! Sama aja yang barusan itu narsis namanya.”
“Iya ya? Hehe. Kita emang jodoh berarti.”
Rhea dan Andi berusaha mengembalikan nafas mereka dengan normal. Mereka
terpejam untuk menenangkan pikiran sejenak. Tapi ketika mereka membuka mata…
“HUAAAAA!!”, teriak Andi dan Rhea kompak, perpaduan suara bass dan
sopran.
Ternyata si misterius itu kini sudah ada di hadapan mereka dengan jarak
yang sangat dekat. Namun, tiba – tiba saja pria itu jongkok dan memegang kaki
Andi.
“Aduh, jangan perkosa pacar saya!”, teriak Rhea panik. Spontan Andi
menendang orang itu.
“AAAUUUWWHH! Saya bukan orang jahat kok!”
***
Di taman itu, kini Andi dan Rhea sedang memperhatikan orang yang duduk
di hadapan mereka, yaitu si misterius.
“Kalau ngga punya niat jahat, ngapain bapak selama ini ngikutin saya?”,
tanya Andi bingung.
“Saya tidak bermaksud begitu. Saya hanya…”
“Bapak udah bikin kami berdua takut.”, potong Rhea.
“Rhea!”, Andi mendiamkan.
“Maaf, tapi betul kok saya bukan orang jahat. Saya cuma mau ngambil
sandal jepit saya yang…”
“Hah? Sandal jepit?”, Andi dan Rhea terpekik dengan kompaknya.
“Iya, waktu hari jumat lalu, di masjid, kamu pulang dengan memakai
sandal jepit saya. Karena saya kurang yakin, saya coba ngikutin kamu.”
“Kan bapak bisa tanya langsung. Ngga usah pake acara nguntit segala.”
“Bagaimana saya mau bertanya? Setiap saya samperin, situ selalu lari.”
“Abisnya penampilan bapak mencurigakan. Pake hitam – hitam begitu kan
ngeri.”
“Sekali lagi maaf! Baju ini karena saya masih sangat berkabung atas
meninggalnya isteri saya. Dan soal sandal jepit itu, saya sekarang yakin kalau
sandal jepit yang kamu pakai ini adalah punya saya. Jadi, tolong kembalikan!”
Andi dan Rhea langsung melihat ke bawah kaki Andi, menatap sandal jepit
warna biru yang ternyata sumber masalahnya. Mereka berdua jadi tertawa geli.
“Sandal itu sangat berharaga bagi saya, karena ini adalah peninggalan
almarhum isteri saya. Katanya supaya rajin sholat ke masjid dan sandal itu yang
harus selalu saya pake kalau hendak ibadah ke masjid. Katanya sebelum
meninggal, kalau sandal itu sampai hilang, dia akan mencarikannya untuk saya
dan mengembalikannya pada saya. Sebelum isteri saya yang mendatangi kamu, lebih
baik saya yang menghampiri. Supaya isteri saya bisa istirahat saja di alam
sana, ngga usah cape – cape balik dulu ke bumi cuma buat nyari sandal.”
Wajah Andi memucat.
“Di datangi hantu maksudnya?”, tanya Andi ngeri. Si bapak mengangguk
mengiyakan.
Andi pun melepas sandalnya dan langsung memberikannya kembali kepada
pemiliknya.
“Terima kasih. Saya benar – benar yakin ini sandal saya, karena ada
initial SJ di sandal ini.”
“Initial isteri bapak?”
“Oh, bukan! SJ itu singkatan dari Sandal Jepit. Hanya sebagai tanda
saja, siapa tahu hilang. Kalau saya pasang initial nama isteri saya, kan nama
sudah pasaran, takutnya ada orang yang ngaku – ngaku.”
Semua urusan selesai, orang misterius tadi sudah menghilang setelah
sandalnya didapatkan kembali. Kini tinggal Andi dan Rhea.
“Ternyata hanya soal sandal jepit. Abisnya sama persis sama sandal jepit
yang biasa aku pake.”, ujar Andi. Andi lalu melirik kakinya yang telanjang.
“Kamu ngga malu kan pulang dengan orang yang telanjang kaki?”, Andi
melirik pacarnya. Rhea tersenyum menenangkan hati. Andi ikut tersenyum.
Duh, cewek gue emang baik. Bisiknya dalam hati.
“Malu sih! Tapi masih lebih mending daripada telanjang dada!”, kata Rhea
polos. Senyum Andi langsung kandas.
“Tapi, karena ini masih deket sama kompleks rumah kamu, ngga apa – apa
juga sih.”, kata Rhea menambahkan begitu melihat wajah cemberut pacarnya.
Andi tersenyum sok imut. Mereka pun berjalan kembali memasuki kompleks
perumahan Andi. Supaya kompak, malahan Rhea jadi ikut telanjang kaki dan
menjinjing sandalnya. Tapi ketika Andi memintanya untuk telanjang dada bareng,
sandal itu langsung mendarat mantap di kepala Andi.
****
OLEH: YANTI KUSMAYANTI
BANDUNG, 09 Maret 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar