Tuk!
Satu buah kersen
jatuh tepat mengenai kepala Tami. Spontan cewek itu langsung menengadah.
“Ngapain lo, duduk
di bawah pohon sambil celingukan ke atas kayak orang bego gitu?”, sapa Fadil.
“Kepala gue
ketimpa buah kersennya.”
“Yaelah lebay
lo! Untung aja ini pohon kersen, kalau pohon duren gimana?”, Fadil mengambil
posisi duduk di sebelah Tami. Sementara cewek itu menatap lapangan yang
dipenuhi anak cowok yang asyik main sepak bola. Tampangnya nampak kebingungan.
Fadil melirik tangan Tami yang memegangi sepucuk surat.
“Wah, kayaknya
mitos cewek pos makin meluas. Buat siapa tuh?”, tanya Fadil.
“Ah, mitos
laknat! Sekarang gue lagi dibikin bingung nih gara – gara surat yang harus gue
sampaikan ini.”, keluh Tami.
“Lho? Lo kan
tinggal ngasih tuh surat. Beres kan?”
“Beres otak lo?
Lo ngga tahu sih cerita surat ini.”
“Emang ini
suratnya siapa sih?”
“Rivi, anak
kelas XI.”
“Yang bikin lo
bingung apa?”
“Gimana caranya
menyampaikan ini ke cowok yang dia taksir?”
“Siapa cowoknya?”,
tanya Fadil penasaran.
Tami diam, masih
manatap lapangan. Sekarang terdengar teriakan senang karena baru tercetak gol.
Tami lalu menunjuk seorang anak cowok yang sedang dirangkul kawanannya karena
baru saja mencetak gol. Fadil pun mengikuti arah telunjuk Tami. Ia menyipitkan
mata untuk memastikan.
“Rifan?”,
ujarnya kemudian. Tami mengangguk.
“Lo tahu kan,
dia pernah bilang kalau dia ngga suka nerima surat cinta dari cewek manapun.
Jadi, gue dilarang untuk nerima titipan surat buat dia! Emang itu cowok suka ke
GR-an. Tapi gue ngga nyangka, ternyata ada juga cewek yang akhirnya mau ngasih
surat cinta ke dia.”
“Kenapa lo ngga
nolak?”
“Udah! Tapi Rivi
ngotot harus gue yang ngasih ini surat. Padahal gue udah bilang jangan percaya
mitos dari mulut anak – anak! Ini semua gara – gara pengumuman biadab itu.”
“Pengumuman yang
mana?”
“Lo inget ngga,
setahun lalu waktu gue ngasih surat ke Raffi buat Nara? Itu kan cuma kebetulan
mereka langsung jadian. Eh, besoknya langsung ada tulisan gini di mading ‘Mitos
cewek pos! siapa yang nitip surat cinta lewat Irtami Arindra, akan tersampaikan
perasaanya dan pasti jadi. Dijamin halal!’ Ngga penting kan? Siapa sih yang
nulis begituan? Semenjak itu kan gue sering banget dipaksa ngasih – ngasihin
surat cinta di jaman teknologi yang udah canggih gini. Mereka kan bisa
menyampaikannya lewat telepon atau sms kalau emang ngga berani bilang langsung!”
“Tapi mitos itu
bener kan? Mereka pada jadian sesudahnya.”
“Aduh, Dil, itu
sih kebetulan doang! Jadi kesel gue sama yang nulis itu pengumuman. Anak mading
ngga ada yang tahu atau mau ngaku. Kalau ketahuan, gue gorok juga itu orang.
Nyusahin banget!”, Tami nampak begitu kesal.
“Tapi, Tam, ngga
ada salahnya lo nyoba kasih surat itu!”, Fadil menyarankan nada ragu.
“Lo mau gue
disemprot lagi? Dia kan pernah marahin gue waktu gue ngasih surat ke dia.
Padahal itu surat sakit lo yang tadinya mau gue titipin ke dia, dan dia pikir
itu surat cinta. Apalagi kalau dia nerima surat cinta benerannya?”
“Lo kan
sohibnya, masa segitu ngambeknya sih dia cuma gara – gara lo ketitipan surat
buat dia?”
“Ada satu hal
lagi yang memberatkan sebenarnya.”
“Apa?”, tanya
Fadil penasaran. Tami diam, nampak ragu untuk menjawab. Ia pun menelan ludah
keraguannya, tapi belum juga ia berkata sesuatu, bola melayang ke arahnya
dengan cepat. Dan….
BUGGH!
“Sakit ya,
Tam?”, Fadil menatap ngeri Tami yang sudah terjengkang dan tak sadarkan diri.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Tami berjalan mengikuti Rifan dari belakang. Ia
mengelus hidung yang masih kesakitan karena bola tadi.
“Eh, monyet!”,
panggil Tami begitu sampai di parkiran. Rifan yang sudah biasa dipanggil
begitu, langsung menoleh. Dan Tami sudah mengulurkan surat Rivi padanya. Rifan
bingung.
“Ada yang suka
sama lo. Dan gue disuruh menyampaikan surat ini. Nih, buat lo!”
“Lo ngga denger
kata – kata gue waktu itu? Gue kan ngga suka dapet titipan kayak yang sering lo
kasih ke orang – orang!”
“Ngga usah marah
gitu dong! Gue kan cuma ketitipan. Surat ini dari….”, belum sempat Tami
membereskan kata – katanya, Rifan menyambar surat itu dengan kasar dan dirobeknya.
Jelas Tami langsung nyap – nyap.
“Heh! Lo ngga
bisa ngehargain perasaan orang banget ya? Maen robek gitu aja. Cewek itu
nulisnya dengan perasaan yang tulus tahu!”
“Sebagai sahabat
seharusnya lo ngerti kalau gue ngga suka nerima surat cinta lewat lo! Gue kan
pernah bilang itu!”
“Emang apa sih
salahnya kalau gue nyampein surat cinta buat lo? Orang lain ngga ada yang
sesewot lo.”
“Gue kasih tahu
lebih jelas, gue ngga mau nerima titipan dari elo karena… karena ada cewek
special di hati gue! Gue suka sama seseorang, dan gue pengen menyampaikan itu
sama dia tanpa harus diganggu dulu dengan kiriman dari orang lain! Elo udah
bikin gue kecewa!”
“Aneh! Ngga
perlu semarah itu kali! Lagian, siapa tahu ini dari cewek special lo itu!”,
Tami berkata dengan ketus.
“Bilang sama
yang nitip surat, gue bakal lebih suka dia nyampein langsung perasaannya tanpa
lewat elo!”
“Kak Tami!”,
Tami menoleh begitu mendengar namanya dipanggil. “Duluan ya!”, ternyata Rivi
yang memanggil. Suaranya agak bergetar. Dia melihat dan mendengar semuanya
rupanya. Tami mengangguk dan tersenyum kikuk. Rivi pun pergi dari hadapan
mereka.
“Ngga perlu gue
sampaikan, orangnya udah denger langsung. Ngga berperasaan ya, lo!”, Tami
bergegas meninggalkan Rifan.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Makasih ya Kak
Tami! Aku ngga apa – apa kok. Bener kata Kak Tami waktu itu, seharusnya aku
sendiri yang kasih surat itu. Wah, mitosnya kali ini meleset deh. Lagipula aku
bakalan cepet lupa sama Kak Rifan, besok aja aku udah ngga sekolah di sini. Aku
pindah ke Jepang, ikut papaku. Ngga guna juga sebenarnya aku ngasih surat
cinta.”
Tami bengong
melihat ekspresi ceria di wajah Rivi.
“Kak Tami
ngeliatinnya jangan gitu dong! Aku emang sedih, tapi hidup harus terus jalan
dong!”
“Sebenarnya
dengan nyoba ngasih surat ini, lo bisa dibilang berani. Seenggaknya perasaan lo
tersampaikan.”
“Hh.. walaupun
akhirnya patah hati juga.”, Rivi nyengir.
“Lagipula aku punya obat manjur kalau lagi
patah hati. Cari aja penggantinya!”
Tami nyengir
lagi mendengar pernyataan Rivi. Pikirannya terbuka tentang satu hal karena ucapan
Rivi barusan.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Tami sedang
berjalan di koridor siang itu. Dari arah berlawanan, Ardhi si ketua futsal juga
sedang berjalan. Tami langsung tanggap.
“Hai, Dhi!”, sapa Tami dengan manisnya ketika
mereka berpapasan.
“Hai!”, Ardhi
membalas senyum Tami. Dan merekan pun saling berlalu.
Gue harus belajar berani. Sedikitnya ngasih sinyal.
Masa si cewek pos yang udah sering ngungkapin perasaan orang, ngga bisa
ngungkapin perasaan sendiri? Ngapain berlarut – larut mikirin orang yang udah
punya cewek specia di hatinya?
Tami teringat
akan sesuatu. Ia merogoh saku seragamnya. Dua tiket nonton. Dia baru mendapatkan
hadiah kuis radio. Tami jadi mendapat ide.
Ia menulis
sebuah catatan kecil sebelum memasukannya beserta tiket ke dalam loker Ardhi.
Tanpa sengaja Rifan melihatnya, namun Tami tak menyadari.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sudah lewat lima
belas menit dari dimulainya film. Untuk kesekian kalinya Tami mengecek HP –
nya. Tidak ada sms atau apapun yang bisa dijadikan kabar dari Ardhi. Padahal ia
sudah meninggalkan nomer HP – nya.
Tami melirik
pintu masuk bioskop, dia ragu untuk masuk. Sekali lagi ia melirik jam di HP –
nya, telat setengah jam. Tami pun mengambil dompet untuk mengambil tiket. Namun
dia jadi terdiam menatap foto dengan Rifan yang pernah diambil Fadil secara
kebetulan, karena si monyet, sahabatnya itu susah diajak berfoto.
Tami duduk di
bangku depan bioskop. Ia memasukan kembali dompetnya. Dan Tami pun kembali
merasakan patah hatinya. Soal Ardhi hilang seketika dari pikirannya. Dia
manatap tiket nonton yang dipegangnya. Ia hampir menangis ketika tiba – tiba
saja seseorang menegurnya.
“Masih mau
nonton?”
Tami mendongak.
Ia langsung mengurungkan niat air matanya untuk jatuh.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Ternyata hujan
baru reda. Jalan masih basah, bahkan bangku tempat Tami duduk sekarang bersama
Rifan juga masih terasa basah. Malam mulai datang. Langitnya sudah gelap dan
tanpa bintang.
“Kenapa lo yang
datang?”, tanya Tami ketus.
“Dasar cewek
ceroboh! Lo ngajak nonton cowok yang baru jadian.”, kata Rifan tak kalah ketus.
Tami menoleh cepat. Rifan tak menghiraukannya. “Ardhi baca pesan lo kok. Tapi
dia keburu janji sama Arun, ceweknya. Pas dia ketemu gue, dia suruh gue yang
gantiin karena ngga enak sama lo.”
“Terus, kenapa
lo datang?”
“Tadi gue udah
bilang, Ardhi nyuruh gue nemuin elo!”
“Hah? Emang lo ngga
nemuin cewek special lo?”, suara Tami begitu kesal.
“Justru itu. Gue
sekalian mau titip ini sama lo.”, Rifan menyodorkan surat.
“Lo bilang lo
ngga…”
“Gue bilang gue
ngga suka nerima titipan dari lo doang kan? Tapi gue pengen menyampaikan
perasaan gue sama cewek special gue ini lewat lo juga karena lo orang pertama
yang paling gue percaya untuk tahu rahasia hati gue selama ini.”
Tami langsung
murung. Dia tertunduk mendengar kata – kata Rifan. Sejujurnya dalam hati dia
mengakui telah patah hati oleh perkataan Rifan.
“Harus lo yang
menyampaikan ini!”
Tami memandang
wajah Rifan dengan sedih.
“Gue ngga mau!”,
katanya tegas.
“Kenapa?”
Dada Tami terasa
sesak. Hatinya begitu sakit menerima kenyataan bahwa Rifan justru ingin
menyampaikan perasaan pada cewek specialnya itu lewat Tami, sahabat yang
ternyata mencintainya juga.
“Gue ngga bisa
nyiksa batin gue terus, Fan! Gue ngga mau menyampaikan perasaan orang yang gue
suka itu sama cewek yang dia suka. Gue ngga akan sanggup!”, Tami tak mampu lagi
menahan ganjalannya. Ia sudah hampir menangis. Dia beranjak dari bangkunya dan
hendak pergi. Namun Rifan menarik tangannya untuk menahan.
“Tolong, Tam!”,
ujarnya memohon. “Sampaikan surat ini sama Irtami Arindra!”
Tami menoleh
kembali begitu namanya disebut.
“Apa?”
“Tolong sampaikan
isi surat ini sama hati lo yang paling dalam! Dan harus elo yang menyampaikan
semua ini!”
Tami merasakan
debaran jantungnya tak beraturan. Ia masih bingung akan maksud perkataan Rifan.
Perlahan dia mengambil surat dari tangan Rifan. Rifan tersenyum melihatnya.
“Tolong baca
sekarang juga karena gue butuh jawabannya sekarang!”
Tami membuka
surat itu.
Tami, gue sayang sama lo. Lo mau kan jadi cewek gue
mulai sekarang? Jadi cewek pos setia gue, pengantar pesan semua perasaan gue
sama hati lo yang paling dalam. Semua pesan dari hati lo tentang rasa sayang
yang gue rasain sama lo. Gue cinta sama lo, Irtami Arindra!
Rifan berdiri
menghadap Tami. Tami selesai membacanya. Ia pun menatap Rifan dengan raut muka
tak percaya dan juga perasaan bahagia yang sulit diungkapkan.
“Kalau lo udah
menyampaikan pesan itu…”, Rifan belum membereskan kalimatnya, Tami sudah
menghambur ke pelukannya dan menangis.
“Iya, gue mau!
Gue mau jadi pengantar pesan lo itu!”, ujarnya dalam isak tangis bahagia.
Rifan memeluk
pacar barunya itu seerat mungkin. Kini perasaan mereka sudah tersampaikan satu
sama lain. Dan mungkin saja mitos itu justru akan semakin kuat ketika sang
cewek mitos pun telah menerima bukti pesan yang disampaikannya sendiri ke dalam
hatinya.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Oleh: Yanti Kusmayanti
Bandung, 22 September 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar