Jumat, 02 Januari 2015

MITOS CEWEK POS!



Tuk!
Satu buah kersen jatuh tepat mengenai kepala Tami. Spontan cewek itu langsung menengadah.
“Ngapain lo, duduk di bawah pohon sambil celingukan ke atas kayak orang bego gitu?”, sapa Fadil.
“Kepala gue ketimpa buah kersennya.”
“Yaelah lebay lo! Untung aja ini pohon kersen, kalau pohon duren gimana?”, Fadil mengambil posisi duduk di sebelah Tami. Sementara cewek itu menatap lapangan yang dipenuhi anak cowok yang asyik main sepak bola. Tampangnya nampak kebingungan. Fadil melirik tangan Tami yang memegangi sepucuk surat.
“Wah, kayaknya mitos cewek pos makin meluas. Buat siapa tuh?”, tanya Fadil.
“Ah, mitos laknat! Sekarang gue lagi dibikin bingung nih gara – gara surat yang harus gue sampaikan ini.”, keluh Tami.
“Lho? Lo kan tinggal ngasih tuh surat. Beres kan?”
“Beres otak lo? Lo ngga tahu sih cerita surat ini.”
“Emang ini suratnya siapa sih?”
“Rivi, anak kelas XI.”
“Yang bikin lo bingung apa?”
“Gimana caranya menyampaikan ini ke cowok yang dia taksir?”
“Siapa cowoknya?”, tanya Fadil penasaran.
Tami diam, masih manatap lapangan. Sekarang terdengar teriakan senang karena baru tercetak gol. Tami lalu menunjuk seorang anak cowok yang sedang dirangkul kawanannya karena baru saja mencetak gol. Fadil pun mengikuti arah telunjuk Tami. Ia menyipitkan mata untuk memastikan.
“Rifan?”, ujarnya kemudian. Tami mengangguk.
“Lo tahu kan, dia pernah bilang kalau dia ngga suka nerima surat cinta dari cewek manapun. Jadi, gue dilarang untuk nerima titipan surat buat dia! Emang itu cowok suka ke GR-an. Tapi gue ngga nyangka, ternyata ada juga cewek yang akhirnya mau ngasih surat cinta ke dia.”
“Kenapa lo ngga nolak?”
“Udah! Tapi Rivi ngotot harus gue yang ngasih ini surat. Padahal gue udah bilang jangan percaya mitos dari mulut anak – anak! Ini semua gara – gara pengumuman biadab itu.”
“Pengumuman yang mana?”
“Lo inget ngga, setahun lalu waktu gue ngasih surat ke Raffi buat Nara? Itu kan cuma kebetulan mereka langsung jadian. Eh, besoknya langsung ada tulisan gini di mading ‘Mitos cewek pos! siapa yang nitip surat cinta lewat Irtami Arindra, akan tersampaikan perasaanya dan pasti jadi. Dijamin halal!’ Ngga penting kan? Siapa sih yang nulis begituan? Semenjak itu kan gue sering banget dipaksa ngasih – ngasihin surat cinta di jaman teknologi yang udah canggih gini. Mereka kan bisa menyampaikannya lewat telepon atau sms kalau emang ngga berani bilang langsung!”
“Tapi mitos itu bener kan? Mereka pada jadian sesudahnya.”
“Aduh, Dil, itu sih kebetulan doang! Jadi kesel gue sama yang nulis itu pengumuman. Anak mading ngga ada yang tahu atau mau ngaku. Kalau ketahuan, gue gorok juga itu orang. Nyusahin banget!”, Tami nampak begitu kesal.
“Tapi, Tam, ngga ada salahnya lo nyoba kasih surat itu!”, Fadil menyarankan nada ragu.
“Lo mau gue disemprot lagi? Dia kan pernah marahin gue waktu gue ngasih surat ke dia. Padahal itu surat sakit lo yang tadinya mau gue titipin ke dia, dan dia pikir itu surat cinta. Apalagi kalau dia nerima surat cinta benerannya?”
“Lo kan sohibnya, masa segitu ngambeknya sih dia cuma gara – gara lo ketitipan surat buat dia?”
“Ada satu hal lagi yang memberatkan sebenarnya.”
“Apa?”, tanya Fadil penasaran. Tami diam, nampak ragu untuk menjawab. Ia pun menelan ludah keraguannya, tapi belum juga ia berkata sesuatu, bola melayang ke arahnya dengan cepat. Dan….
BUGGH!
“Sakit ya, Tam?”, Fadil menatap ngeri Tami yang sudah terjengkang dan tak sadarkan diri.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Tami  berjalan mengikuti Rifan dari belakang. Ia mengelus hidung yang masih kesakitan karena bola tadi.
“Eh, monyet!”, panggil Tami begitu sampai di parkiran. Rifan yang sudah biasa dipanggil begitu, langsung menoleh. Dan Tami sudah mengulurkan surat Rivi padanya. Rifan bingung.
“Ada yang suka sama lo. Dan gue disuruh menyampaikan surat ini. Nih, buat lo!”
“Lo ngga denger kata – kata gue waktu itu? Gue kan ngga suka dapet titipan kayak yang sering lo kasih ke orang – orang!”
“Ngga usah marah gitu dong! Gue kan cuma ketitipan. Surat ini dari….”, belum sempat Tami membereskan kata – katanya, Rifan menyambar surat itu dengan kasar dan dirobeknya. Jelas Tami langsung nyap – nyap.
“Heh! Lo ngga bisa ngehargain perasaan orang banget ya? Maen robek gitu aja. Cewek itu nulisnya dengan perasaan yang tulus tahu!”
“Sebagai sahabat seharusnya lo ngerti kalau gue ngga suka nerima surat cinta lewat lo! Gue kan pernah bilang itu!”
“Emang apa sih salahnya kalau gue nyampein surat cinta buat lo? Orang lain ngga ada yang sesewot lo.”
“Gue kasih tahu lebih jelas, gue ngga mau nerima titipan dari elo karena… karena ada cewek special di hati gue! Gue suka sama seseorang, dan gue pengen menyampaikan itu sama dia tanpa harus diganggu dulu dengan kiriman dari orang lain! Elo udah bikin gue kecewa!”
“Aneh! Ngga perlu semarah itu kali! Lagian, siapa tahu ini dari cewek special lo itu!”, Tami berkata dengan ketus.
“Bilang sama yang nitip surat, gue bakal lebih suka dia nyampein langsung perasaannya tanpa lewat elo!”
“Kak Tami!”, Tami menoleh begitu mendengar namanya dipanggil. “Duluan ya!”, ternyata Rivi yang memanggil. Suaranya agak bergetar. Dia melihat dan mendengar semuanya rupanya. Tami mengangguk dan tersenyum kikuk. Rivi pun pergi dari hadapan mereka.
“Ngga perlu gue sampaikan, orangnya udah denger langsung. Ngga berperasaan ya, lo!”, Tami bergegas meninggalkan Rifan.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

“Makasih ya Kak Tami! Aku ngga apa – apa kok. Bener kata Kak Tami waktu itu, seharusnya aku sendiri yang kasih surat itu. Wah, mitosnya kali ini meleset deh. Lagipula aku bakalan cepet lupa sama Kak Rifan, besok aja aku udah ngga sekolah di sini. Aku pindah ke Jepang, ikut papaku. Ngga guna juga sebenarnya aku ngasih surat cinta.”
Tami bengong melihat ekspresi ceria di wajah Rivi.
“Kak Tami ngeliatinnya jangan gitu dong! Aku emang sedih, tapi hidup harus terus jalan dong!”
“Sebenarnya dengan nyoba ngasih surat ini, lo bisa dibilang berani. Seenggaknya perasaan lo tersampaikan.”
“Hh.. walaupun akhirnya patah hati juga.”, Rivi nyengir.
 “Lagipula aku punya obat manjur kalau lagi patah hati. Cari aja penggantinya!”
Tami nyengir lagi mendengar pernyataan Rivi. Pikirannya terbuka tentang satu hal karena ucapan Rivi barusan.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Tami sedang berjalan di koridor siang itu. Dari arah berlawanan, Ardhi si ketua futsal juga sedang berjalan. Tami langsung tanggap.
 “Hai, Dhi!”, sapa Tami dengan manisnya ketika mereka berpapasan.
“Hai!”, Ardhi membalas senyum Tami. Dan merekan pun saling berlalu.
Gue harus belajar berani. Sedikitnya ngasih sinyal. Masa si cewek pos yang udah sering ngungkapin perasaan orang, ngga bisa ngungkapin perasaan sendiri? Ngapain berlarut – larut mikirin orang yang udah punya cewek specia di hatinya?
Tami teringat akan sesuatu. Ia merogoh saku seragamnya. Dua tiket nonton. Dia baru mendapatkan hadiah kuis radio. Tami jadi mendapat ide.
Ia menulis sebuah catatan kecil sebelum memasukannya beserta tiket ke dalam loker Ardhi. Tanpa sengaja Rifan melihatnya, namun Tami tak menyadari.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Sudah lewat lima belas menit dari dimulainya film. Untuk kesekian kalinya Tami mengecek HP – nya. Tidak ada sms atau apapun yang bisa dijadikan kabar dari Ardhi. Padahal ia sudah meninggalkan nomer HP – nya.
Tami melirik pintu masuk bioskop, dia ragu untuk masuk. Sekali lagi ia melirik jam di HP – nya, telat setengah jam. Tami pun mengambil dompet untuk mengambil tiket. Namun dia jadi terdiam menatap foto dengan Rifan yang pernah diambil Fadil secara kebetulan, karena si monyet, sahabatnya itu susah diajak berfoto.
Tami duduk di bangku depan bioskop. Ia memasukan kembali dompetnya. Dan Tami pun kembali merasakan patah hatinya. Soal Ardhi hilang seketika dari pikirannya. Dia manatap tiket nonton yang dipegangnya. Ia hampir menangis ketika tiba – tiba saja seseorang menegurnya.
“Masih mau nonton?”
Tami mendongak. Ia langsung mengurungkan niat air matanya untuk jatuh.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Ternyata hujan baru reda. Jalan masih basah, bahkan bangku tempat Tami duduk sekarang bersama Rifan juga masih terasa basah. Malam mulai datang. Langitnya sudah gelap dan tanpa bintang.
“Kenapa lo yang datang?”, tanya Tami ketus.
“Dasar cewek ceroboh! Lo ngajak nonton cowok yang baru jadian.”, kata Rifan tak kalah ketus. Tami menoleh cepat. Rifan tak menghiraukannya. “Ardhi baca pesan lo kok. Tapi dia keburu janji sama Arun, ceweknya. Pas dia ketemu gue, dia suruh gue yang gantiin karena ngga enak sama lo.”
“Terus, kenapa lo datang?”
“Tadi gue udah bilang, Ardhi nyuruh gue nemuin elo!”
“Hah? Emang lo ngga nemuin cewek special lo?”, suara Tami begitu kesal.
“Justru itu. Gue sekalian mau titip ini sama lo.”, Rifan menyodorkan surat.
“Lo bilang lo ngga…”
“Gue bilang gue ngga suka nerima titipan dari lo doang kan? Tapi gue pengen menyampaikan perasaan gue sama cewek special gue ini lewat lo juga karena lo orang pertama yang paling gue percaya untuk tahu rahasia hati gue selama ini.”
Tami langsung murung. Dia tertunduk mendengar kata – kata Rifan. Sejujurnya dalam hati dia mengakui telah patah hati oleh perkataan Rifan.
“Harus lo yang menyampaikan ini!”
Tami memandang wajah Rifan dengan sedih.
“Gue ngga mau!”, katanya tegas.
“Kenapa?”
Dada Tami terasa sesak. Hatinya begitu sakit menerima kenyataan bahwa Rifan justru ingin menyampaikan perasaan pada cewek specialnya itu lewat Tami, sahabat yang ternyata mencintainya juga.
“Gue ngga bisa nyiksa batin gue terus, Fan! Gue ngga mau menyampaikan perasaan orang yang gue suka itu sama cewek yang dia suka. Gue ngga akan sanggup!”, Tami tak mampu lagi menahan ganjalannya. Ia sudah hampir menangis. Dia beranjak dari bangkunya dan hendak pergi. Namun Rifan menarik tangannya untuk menahan.
“Tolong, Tam!”, ujarnya memohon. “Sampaikan surat ini sama Irtami Arindra!”
Tami menoleh kembali begitu namanya disebut.
“Apa?”
“Tolong sampaikan isi surat ini sama hati lo yang paling dalam! Dan harus elo yang menyampaikan semua ini!”
Tami merasakan debaran jantungnya tak beraturan. Ia masih bingung akan maksud perkataan Rifan. Perlahan dia mengambil surat dari tangan Rifan. Rifan tersenyum melihatnya.
“Tolong baca sekarang juga karena gue butuh jawabannya sekarang!”
Tami membuka surat itu.
Tami, gue sayang sama lo. Lo mau kan jadi cewek gue mulai sekarang? Jadi cewek pos setia gue, pengantar pesan semua perasaan gue sama hati lo yang paling dalam. Semua pesan dari hati lo tentang rasa sayang yang gue rasain sama lo. Gue cinta sama lo, Irtami Arindra!
Rifan berdiri menghadap Tami. Tami selesai membacanya. Ia pun menatap Rifan dengan raut muka tak percaya dan juga perasaan bahagia yang sulit diungkapkan.
“Kalau lo udah menyampaikan pesan itu…”, Rifan belum membereskan kalimatnya, Tami sudah menghambur ke pelukannya dan menangis.
“Iya, gue mau! Gue mau jadi pengantar pesan lo itu!”, ujarnya dalam isak tangis bahagia.
Rifan memeluk pacar barunya itu seerat mungkin. Kini perasaan mereka sudah tersampaikan satu sama lain. Dan mungkin saja mitos itu justru akan semakin kuat ketika sang cewek mitos pun telah menerima bukti pesan yang disampaikannya sendiri ke dalam hatinya.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------




Oleh: Yanti Kusmayanti
Bandung, 22 September 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar