Selasa, 24 Februari 2015

ORIGINAL PANCAKE HOMEMADE

Beberapa kali bikin pancake dengan adonan yang sering ngasal dan lupa2 inget, berhasil sih, tapi ga sebagus kali ini bentuknya, rasanya juga yang ini lebih nyusu banget. Hahaha.

Mungkin karena dibuatnya pas bener2 lagi niat dan lagi pengen. So, daripada nanti lupa2 lagi pas mau bikin mending lsg catet sendiri aja di blog sendiri, ya buat dibaca sendiri juga sebenernya. Kalau ada yg numpang2 berkunjung sih alhamdulillah indahnya berbagi. So easy banget kok sebenernya bikin pancake. Padahal kalau makannya udh di cafe2 buset dah harganya sama kaya main course.

BAHAN PANCAKE
1. 5 sdm full terigu
2. 1 bks dancow
3. 1.5 sdm gula pasir
4. 1/2 gelas air
5. 1 sdm mentega cair
6. 1/2 sdt soda kue
7. 1/2 sdt garam

CARA MENBUAT PANCAKE ORI
1. Kocok telur, gula, dan garam sampai rata.
2. Masukan terigu, susu, soda kue, aduk sebentar lalu tuang air aduk rata.
3. Masukan mentega cair, aduk rata lagi
4. Panaskan teflon beri olesan mentega sedikit aja. Tuang 1 sendok sayur adonan, tunggu sampai pinggirannya kering, balikan sebentar. Angkat. Siap

Tinggal tambah topping yang disuka deh. Misalnya kasih keju, eskrim, coklat, dll. Kaya gini nih..

Voilaaa.. lumayan lah buat pancake homemade mah. Coba kalau udah beli di cafe2 wah lumayan kan. Hihihi

HOTTEOK ALA TANGAN INDONESIA

Akibat pergaulan bebas, eh, maksudnya akibat kebanyakan nonton film korea jadi ngidam beberapa makanan korea. Kalau di bandung sih gampang pengen makanan korea ini itu karena udah banyak juga restauran2 korea. Lah kalau di Tahuna? Walaikumsallam seperti biasa. Eit, tapi ga abis akal, dan emang dasar doyan makan pernah nyoba bikin tteokboki da  berhasil walau pedasnya versi indonesia banget. Hahaha

Kali ini pengen bikin jajanan kaki lima ala korea gitu. Pas liat di film2 sih kayanya enak juga, cara masaknya digepeng2 gitu sok asik banget lah kokinya. #padahalgueajayangsokasik. Haha
Cara bikin hotteok so simple ternyata. Walau ga tau rasa aslinua gimana, yang penting mah kue dari beras ketan weh da cnah mah gitu. Isinya kacang tanah yang aku tau, tapi katanya ada juga isi sayuran dll. Ya percobaan pertama mah yanh gampang2 aja dulu. Langsung cuss ah masak nyok.

BAHAN ISI
1. 6 sdm kacang tanah di sangrai
2. 2 sdm gula merah yang diserut

BAHAN KUENYA
1. 8 sdm tepung beras ketan
2. 5 sdm tepung terigu
3. 1 sdt ragi istan
4. 3 sdm susu bubuk
5. Air hangat secukupnya
6. 1/2 sdr garam
7. 1sdm gula pasir

CARA MEMBUAT ISI dulu ya, kacang yg disangrai tinggal ditumbuk kasar terus dicampur sama gula merahnya. Sisihkan

CARA MEMBUAT HOTTEOK
1. Campurkan tepung ketan, terigu, garam, ragi, gula putih, susu bubuk.Aduk rata
2. Tuangkan air hangat pelan2 sambil mengadoni sampai kalis. Diamkan selama 1 jam, tutup dengan plastik.
3. Setelah 1 jam, adonan diaduk2 sebentar lalu bentuk bulat2, pipihkan untuk memasukan isinya, bentuk bulat kembali. Diamkan 5 menit.
4. Siapkan teflon, olesi sedikit mentega. Lalu masak adonan hotteok diatasnya, gepengkan dengan spatula yang udah diolesi mentega juga supaya ga lengket adonannya,karena ga punya alat kaya di korea. Hahaha

Gampang kan?jadi dehh


Jumat, 20 Februari 2015

RESEP CIRENG KAMPUNG ISI KEJU & PECEL

Makanan yang 1 ini sebenarnya banyak juga di tukang gorengan. Klo tinggal di Bandung sih gampang ya nemuin yg jual cireng. Kalau anak rantau kaya kita ya seperti biasa harus bisa muter otak dikit ampe musing biar bisa bikin apa2 sendiri. Hihihi...

Bikin cireng ternyata gampang, tapi untuk bisanya butuh percobaan yang sangat pabaliut dulu. Hahaha.. terlalu kreatif jadi banyak bahan ga penting. Mulai dari ditambahin terigu, enak sih kaya cireng2 modern, tapi maksud dan tujuan pengen cireng kampung. Dan, taraaaa...


Hahah akhirnya setelah beberapa percobaan bahan berhasil juga bikin cireng kampung sekampung kampungnya. Xixixi..
Nah, berhubung ternyata eh ternyata banyak temen2 yang pengen nyoba bikin sendiri juga, okelah kalau begitu kita share langsung resepnyo. It's so easy gais. Cekidot

BAHAN CIRENG
1. 8 sdm tepung tapioka
2. Ketumbar secukupnya
3. 2 siung bawang putih
4. 1/4 sdm  garam
5. Merica secukupnya

BAHAN BIANG
1. 1 sdm tepung kanji
2. 1/2 gelas air

ISI:
1. Bumbu pecel
2. Keju

Langkah pertama adalah kita membuat biang supaya cireng kampung lebih kenyal dan tidak keras. Caranya campurkan bahan biang lalu panaskan sampai mengental kayak lem.



Kita lanjut ke cara bikin cirengnya ya
1. Haluskan bawang putih dan ketumbar.
2. Campurkan ke dalam tepung tapioka, tambahkan garam dan merica. Aduk sampai rata
3. Masukan biang cireng yang sudah dibuat tadi. Uleni sampai kalis.
4. Apabila adonan masih terasa terlalu lengket, bisa ditambahkan satu sendok tepung tapioka.
5. Siapkan isi cireng. Bentuk adonan cireng menjadi bulat,pipihkan lalu beri isi dan bulatkan kembali. Lumuri dengan tepung tapioka agar tidak lengket.
6. Cireng siap digoreng. Goreng dengan api kecil supaya matang hingga ke dalam. Cireng siap disajikan..

Selamat mencoba resep cireng kampuang nan jauh dimatonya yaa.. 😊😊

Selasa, 17 Februari 2015

HARI KETIGA PULUH


Sore yang sepi membuat Kilara merasa tenang duduk di bangku taman belakang kampus sambil mengulum permen karetnya seperti biasa. Sampai tiba–tiba terdengar suara seseorang yang berjalan menghampirinya.

“Berapa haraga sewa lo satu bulan?”, tanya sebuah suara. Kilara yang menggelembungkan permennya dengan santai menengadah ke arah suara. Ternyata Rafka, cowok jutek yang jadi idola cewek – cewek kampus pada umumnya.
“Gue tahu lo itu temen kencan bayaran kan?”, Rafka kembali bersuara melihat diamnya Kilara. Mata elangnga yang dingin menatap lekat cewek yang asyik mengulum permen karet itu. Kilara tersenyum kecut.
“Berani bayar berapa lo?”, tanya Kilara sambil mengembalikan pandangannya ke depan. Walaupun Kilara tidak menampik perkataan Rafka, namun ada sedikit rasa tersinggung karena yang menawarnya adalah anak kampusnya.
Sebenarnya Rafka dan Kilara tidak begitu saling mengenal. Hanya saja selama ini Rafka selalu menawarkan cokelat yang diberikan cewek – cewek kampus yang naksir dia pada Kilara. Hal itu dikarenakan letak loker mereka yang berdekatan. Kilara selalu kebetulan ada pada saat Rafka menerima sekotak hadiah dari cewek – cewek yang entah mendapatkan kunci lokernya dari mana. Dan tanpa berkata apa – apa, Rafka hanya menyodorkan cokelat pada Kilara yang secara otomatis tentu saja Kilara menerimanya. Dia paling anti menolak rezeki. Walau begitu mereka belum pernah saling bicara. Dan kalimat Rafka tadi adalah kalimat pembukaan mereka.
“Lo yang nentuin! Lo boleh mikir dulu! Gue tunggu keputusannya!”, setelah berkata begitu, Rafka pergi meningglakan Kilara lagi. Kilara hanya tersenyum hambar tanpa berkomentar.
***
“Lima juta! Gue mau dibayar lima juta!”, ucap Kilara dengan lantang. Rafka yang sedang bermain basket sore itu di lapangan kampus langsung menoleh ke arah Kilara yang tiba – tiba menghampirinya.
“Ok!”, balasnya mantap, semantap bola yang baru saja dimasukannya ke ring. Kilara malah melongo, sementara Rafka menlanjutkan permainannya.
“Gue minta lima juta dari lo tanpa lo apa – apain! Cuma minjemin status temen kencan doang!”, ujar Kilara lagi. Rafka tidak segera menjawab, tapi dia berhenti bermain dan menarik Kilara dari keramaian. Sekarang mereka ada di taman kemarin.
“Gue bakal bayar lo emang cuma buat jadi cewek gue selama sebulan. Dan gue emang ngga akan minta yang aneh – aneh dari lo!”, kata Rafka dengan nada yang khas.
“Hohoho. Ternyata lima juta ngga ada apa – apanya buat lo? Eits, tapi gue juga masih punya permintaan lain. Nih!”, Kilara menyodorkan selembar kertas.
“Apa ini?”, tanya Rafka bingung.
“Daftar harga! Siap – siap kalau lo berani macem – macem! Asal lo tahu aja, gue ngga terlalu murahan dan ngga sembarangan bisa diapa – apain sama temen kencan gue. Gue cuma bertugas nemenin mereka, dan juga itu berlaku buat lo! Kalau lo coba meluk gue, lo harus bayar seratus ribu! Kalau nyium gue, dua ratus ribu, dan kalau lo minta yang lebih aneh lagi, nyawa bayarannya!”, celoteh Kilara panjang lebar sambil mencondongkan ranting ke arah Rafka saat mengucapkan kalimat terakhirnya.
“Gimana, sanggup ngga lo?”, tanyanya lagi. Rafka tanpa sadar mengembangkan senyumnya karena menperhatikan tingkah Kilara.
“Ok! Gue sanggup!”, ujarnya kemudian. Sekarang gantia, Kilara yang memperhatikan Rafka dengans seksama.
“Ada apa lagi?”, tanya Rafka heran melihat cara Kilara menatapnya.
“Barusan lo senyum ya? Gue baru pertama kali ini ngeliat lo senyum.”, Rafka diam saja menanggapi perkataan Kilara.
“Gue juga ada permintaan! Selama sebulan ini, lo ngga boleh kencan sama cowok laen! Dan jangan dandan slengean kayak gini. Lo harus lebih cewek, kayak biasa kalau lo mau nemenin cowok kencan.”
Kilara menatap heran lagi. Tak menyangka banyak hal yang diketeahui Rafka tentang dirinya. Dia memang senang berdandan acuh kalau pada saat di kampus. Berbeda kalau dia biasa menemani cowok untuk kencan saja. Suasana jadi sanga hening. Namun tiba – tiba Kilara teringat sesuatu.
“Oh iya, gue mau tanya! Kenapa lo nyewa gue selama satu bulan?”
“Apa lo juga biasa nanyain ini sama cowok – cowok lain yang biasa nyewa lo buat diajak kencan?”, tanya Rafka datar. Kilara BT ditanyai seperti itu karena Rafka sering mengungkit apa yang dia kerjakan selama ini.
“Gue ngga pernah nanya mereka, karena udah pasti alasannya cuma pengen senang – senang aja.”, ujar Kilara tenang. “Tapi gue yakin lo ngga kayak yang lainnya. Pasti ada alasan tertentu sampai lo rela bayar mahal. Padahal gue asal – asalan pasang harga. Tahu lo bakal setuju – setuju aja, gue  minta lebih gede.”
“Gue muak sama cewek – cewek itu! Siapa tahu dengan adanya cewek di sebelah gue, mereka mulai menyerah dan berhenti ngebuntut!”
“Dasar cowok aneh! Banyak yang suka kok malah ngga mau.”, bisik Kilara.
***
Perjanjian itu benar – benar berlangsung. Di kampus, Rafka dan Kilara tampak seperti orang berpacaran dan ternyata memang sedikit berpengaruh pada cewek – cewek yang biasa meributkan Rafka. Walaupun masih ada yang memberi Rafka cokelat atau makanan lainnya,tapi tidak sesering dulu.
Kilara jadi kena imbasnya. Tidak jarang cewek yang naksir Rafka menyindirnya bahwa ia tidak pantas dengan Rafka. Atau ada juga yang meringis ke arahnya. Namun Kilara cuek saja. Ia sudah tahu konsekwensinya dari awal.
Hari demi hari terus berlalu, tanpa Rafka dan Kilara sadari, mereka semakin akrab. Semenjak mengenal Kilara, Rafka lebih sering tertawa dan tersenyum dari biasanya. Kedekatan mereka di kampus membuat harapan cewek – cewek yang naksir Rafka hampir kandas. Bahkan sudah hampir satu minggu terakhir ini Rafka tidak lagi disibukkan dengan pemberian dari para cewek yang mencoba mencuri perhatiannya.
Seperti siang ini, Kilara dan Rafka menghampiri loker mereka.
“Ngga ada!”, seru Rafka begitu membuka lokernya. Senyum tipis terkembang di bibir Rafka, namun Kilara cemberut karena kehabisan jatahnya.
***
Kilara mencoret satu tanggal di kalendernya.
Ngga kerasa udah hari ke dua puluh tujuh gue jadi pacar bayarannya Rafka. Bisik hati Kilara. Ia jadi tersenyum sendiri ketika mengingat kembali masa – masa yang dilewatinya dengan Rafka. Ada perasaan aneh yang menggelitik hatinya. Ia merasa berbunga – bunga membayangkan kembali sikap Rafka padanya selama ini. Namun Kilara langsung tersadar sesuatu, dan langsung menepis semua perasaanya.
“Alah, apa – apaan sih gue? Ini kan Cuma pura – pura. Kenapa gue jadi peduli sama sikap dia? Ngga penting!”, ujar Kilara pada diri sendiri. Kilara jadi cemberut ketika sadar akan hal itu. Tapi ia langsung kembali tersenyum mengingat sesuatu.
“Hh… ada yang lebih penting dari itu.”, kata Kilara sambil melompat dari tempat tidurnya untuk mengambil sebuah note book mini. “Bon buat si gila Rafka. Dia harus bayar semua yang udah dia lakuin ke gue. Kan cuma sandiwara.”, Kilara tersenyum menghibur diri. Dengan seksama Kilara membaca catatan kecilnya. Dan selalu mencatat semua hal yang dilakukan Rafka padanya dan langsung menaruh harga seperti yang ia sampaika di awal perjanjian.
“Genit juga tuh cowok!”, gumamnya. Kilara tersenyum hampa mengingatnya. Tiba – tiba Hp nya berbunyi. Dia langsung menjawab teleponnya.
“Hallo?”, sapanya begitu mengangkat telepon.
“Gue butuh lo malam ini!”, ujar seseorang di seberang sana dengan nada suara yang sudah sangat dihafal Kilara.
“Rafka?”, bisik Kilara.
“Gue tunggu lo di taman kota!”
“Tunggu! Ini kan di luar jam perjanjian. Ada urusan apa ya?”, Kilara sudah merasa yakin itu Rafka.
“Gue bakal bayar lo kalau itu masalahnya. Tapi gue mohon, lo datang!”
“Tapi...”, kata – kata Kilara terputus karena teleponnya pun terputus. Kilara jadi diam kebingungan menatap Hp nya.
***
Setengah jam yang lalu Rafka membawa Kilara ke suatu tempat. Nampak seperti atap gedung. Kilara jadi makin dibuat bingung karena Rafka belum berkata sepatah kata pun. Mereka hanya duduk menatap lampu kota dalam kesunyian. Kilara tidak protes sama sekali. Entah perasaan apa yang memaksanya untuk tetap sabar menunggu Rafka bersuara. Dan saat itu pun tiba..
“Apa selamanya seorang anak itu harus berbakti pada orangtuanya? Bahkan pada orangtua yang ngga peduli sama perasaan anaknya yang terlantar? Setiap hari hanya sara ribut – ribut yang bisa didenger. Atau kadang rasa kesepian yang terus menyerang.”
Kilara terbelalak mendengar ucapan Rafka yang tiba – tiba itu. Diliriknya cowok yang duduk di sampingnya itu.
“Lo kenapa, Raf? Ada masalah”, tanya Kilara ragu. Rafka hanya diam ditanya seperti itu. Kilara semakin teliti melihat wajah Rafka. Samar ia melihat pipi Rafka yang biru. Ia langsung memalingkan wajah Rafka ke depan mukanya, dan luka yang samar itu kini makin jelas.
“Pipi lo kenapa?”, tanya Kilara ingin tahu. Tapi Rafka tetap diam dan segera melepaskan wajahnya dari tangan Kilara.
“Lo tahu, Ra? Gue ngga pernah bisa bener – bener tahu caranya menyayangi orang karena di rumah gue ngga ada kasih sayang. Gue ngga diajarin untuk itu. Makanya, mungkin karena itu juga gue ngga pernah bisa nerima sikap cewek – cewek di kampus. Gue ngga bisa liat bokap gue yang selalu berantem sama nyokap gue. Dan tiap gue lawan, ngga hanya luka – luka yang biru ini yang gue dapet, tapi juga hati gue yang makin dingin dan kebal sama rasa sayang. Gue ngga pernah sesadar ini kalau ternyata gue orang yang menyedihkan. Ngga pernah punya orang yang bisa gue percaya untuk tempat gue berbagi.”,Rafka lalu melirik Kilara. “Tapi gue bisa nemu itu dalam diri lo.”, lanjutnya.
Kilara tersentak mendengarnya. Ia lalu memalingkan wajahnya dari Rafka.
“Jangan pernah ngerasa diri lo yang paling menyedihkan di dunia ini. Gue juga punya trauma keluarga kok. Gue kayak gini juga karena bokap gue yang tukang selingkuh. Ngga jauh menyedihkannya dari ngga punya keluarga yang harmonis kan? Gue juga ngga percaya sama kasih sayang.”, ucap Kilara menjadi sama hampanya dengan Rafka. “Sampai gue ketemu lo.”, lanjutnya pelan nyaris berbisik. Rafka menatap lekat cewek yang ada di sampingnya itu.
“Hm, kalau lo mau meluk gue, nih! Gratis kok!”, seru Kilara merentangkan tangannya. Rafka mulai mendekat. Entah kenapa jantung Kilara malah berdebar tidak karuan. Dia menahan dada Rafka, lalu tersenyum kikuk. “Gue pinjemin punggung aja deh!”, ujarnya kemudian. Rafka pun tidak memprotes, ia langsung menyandarkan kepalanya ke punggu Kilara.
Beberapa saat suasana sangat sunyi. Kilara hanya merasakan hembusan nafas panas dari Rafka di punggungnya.
“Eh, gue ada sesuatu nih buat lo!”, tiba – tiba saja Kilara menarik badannya sehingga Rafka hampir terantuk. Rafka langsung menengadah kesal. Dan di hadapannya kini ada sebuah note.
“Apaan nih?”, tanyanya seraya mengambil note itu dari tangan Kilara.
“Bon buat lo! Kan tinggal tiga hari lagi. Lo kudu siapin semuanya!”
Rafka hanya tersenyum sambil geleng – geleng kepala lalu membaca note itu. Kilara tersenyum puas melihat Rafka kembali tersenyum.
***
Sejak malam itu, Kilara jadi kepikiran Rafka. Entah kenapa dia jadi semakin cemas akan berpisah dengan Rafka, tidak acuh seperti biasanya. Dan hari ke tiga puluh dari perjanjian itu pun tiba. Tapi Kilara malah menghindari Rafka yang terus mencarinya, bukannya datang menghampiri untuk meminta bayarannya.
Ada sesuatu yang Kilara sadari tepat di hari ketiga puluhnya bersama Rafka, bahwa ia jatuh cinta pada Rafka.
Malam itu pintu flat Kilara diketuk. Dengan ragu Kilara membuka pintu. Dan ketika ia tahu yang di luar itu Rafka, ia bergegas menutupnya kembali. Namun Rafka ternyata lebih gesit menahannya sehingga pintu pun terbuka.
“Lo kemana aja sih?”, tanya Rafka dengan nadanya yang khas.
“Gue... ada janji dulu. Jadi.. gue lagi buru – buru nih..”, Kilara ngeles dan hendak keluar flat namun Rafka langsung menarik lengannya.
“Tunggu, Ra! Ini bayaran lo!”, Rafka menarik tangan Kilara dan memberikannya sebuah amplop. Kilara langsung menarik tangannya menoleh untuk menerima amplop itu.
“Ini uang lo!”
“Gue ngga  bisa nerima bayaran dari lo?”
“Kenapa?”
Kilara diam tak menjawab. Ia tak berani menatap Rafka. Dan Rafka bisa membaca hal itu. Maka dengan gesit Rafka menangkap wajah Kilara dan memalingkannya pada pandangan matanya hingga pandangan mereka beradu.
“Kenapa?”, tanyanya lagi lebih pelan.
“Udahlah, Raf! Gue...”
“Gimana kalau gue bayar dengan cinta yang lebih tulus dari dua puluh sembilan hari kemaren?”, potong Rafka. Kilara terbelalak mendengarnya.
“Maksud lo?”
“Jadilah pacar gue seterusnya!”
“Gue ini cewek ngga bener, Raf! Gue ngga akan pantas buat lo! Gue ini orang yang menyedihkan..”
“Sama menyedihkannya dengan gue kan? Dan gue menyadari sesuatu di hari ketiga puluh ini...”
“Kalau?”
“Kalau gue mulai bisa ngerasain kasih sayang yang tulus dari lo.”
Kilara membisu mendengar kata – kata Rafka. Rafka kemudian memeluk cewek yang mulai disayanginya dengan tulus itu erat – erat.
“Please, Ra! Kita mulai semua ini berdua! Di hari ketiga puluh yang seharusnya akhir perjanjian kita, jadi awal dari semuanya.”
“Iya.”, gumam Kilara pelan namun jelas.
Rafka mendorong Kilara perlahan untuk bisa melihat raut muka Kilara. Cewek itu sudah menangis. Namun sesaat Kilara langsung tersenyum
“Kesadaran yang sama di hari ketiga puluh. Ternyata selama ini gue juga sayang sama lo, bukan karena gue bakal nerima bayaran semata.”, ujar Kilara.
Mereka tersenyum dan kembali berpelukan. Bertekad untuk mengawali semuanya menjadi lebih nyata dan bukan sandiwara di hari ketiga puluh perjanjian mereka.
****





JUNGKIR BALIK HATI MUTI


Seharian ini tingkah Muti membuat semua teman–temannya bingung, termasuk sahabat terdekatnya, Dea, yang biasanya tahu segala hal yang terjadi pada Muti. Sepanjang hari ini kerjaan Muti hanya senyam - senyum sendiri atau bahkan dia mendadak menjerit kegirangan seperti mendapatkan sesuatu yang menyenangkan. Hal ini terjadi di kelas, di kantin, bahkan waktu latihan taekwondo tadi. Saking kelihatan girangnya, Muti yang imut itu mampu membanting sabem yang badannya jelas lebih besar dari Muti.
“Lo kenapa sih, Mut? Hari ini lagaknya kayak tante girang!”, tanya Dea seusai latihan taekwondo.
Muti tidak langsung menjawab, dia malah tersenyum manis menanggapi pertanyaan Dea. Dea makin bingung dibuatnya.
“Heran deh, kemaren di telepon lo  bilang lo kehujanan dan curiga ngga akan masuk sekolah. Tapi nyatanya hari ini lo masuk sekolah dengan tingkah aneh. Lo kesamber petir ya waktu kehujanan kemaren?”
“Anda benar dokter Dea! You are right kalau bahasa Inggrisnya. Gue kemaren emang kesamber petir, petir cinta tapinya. Hahaha. Tahu kenapa? Soalnya terminal tempat gue berteduh kemaren, malah jadi terminal cinta!”
“Hahaha! Benar – benar ngefek samberan petirnya. Selain bikin lo jadi aneh, tapi juga bikin anak ingusan kayak lo bisa jadi dramatisir gitu . Lebay dasar!
“Udah, lupain soal petir! Lo mau denger cerita gue ngga?”
“Yups! Itu yang gue tunggu dari tadi pagi. Cerita yang bisa ngasih penjelasan tentang semua tingkah aneh lo hari ini!”
“Tapi, kita ceritanya sekalian di jalan menuju rumah lo ya!”
“Hah? Ke rumah? Lo mau maen ke rumah gue dalam keadaan kayak gini?”
“Kayak gini gimana?”, tanya Muti tetap menjaga senyum sumringahnya.
“Mutiii.. kita sobatan udah cukup lama. Gue tahu pasti, lebih baik ngajak lo ke rumah kalau lo dalam keadaan sedih atau marah, soalnya rumah gue bisa jadi kinclong karena lo beresin. Tapi kalau lagi kesenengan kayak gini, sebaliknya rumah gue bisa ancur jadi kayak kapal Titanic! Apalagi kamar gue pasti bantalnya basah semua lo gigitin!”
“Hihihi. Lo ketakutan banget sih, itu kan kebiasaan lama, sekarang ngga lagi kok!”, Muti memasang tampang memohon.
Dea hanya menghela nafas. Akhirnya mereka pun menuju rumah Dea. Dan Muti pun mulai menceritakan semuanya di dalam bis menuju rumah Dea.
“Kemaren waktu gue neduh di terminal abis nelepon lo, ada cowok cakep yang naek motor neduh di terminal juga.”, Muti berhenti sejenak untuk mengingat kembali kenangan waktu di terminal kemaren. Lagi–lagi dia senyum sendiri.
“Cuma karena itu? Lo emang selalu ijo kalau lihat cowok! Lebih ijo daripada orang yang suka lihat duit!”
“Ngga! Bukan karena itu juga, ada hal lain. Awalnya kan gue cuek aja tuh ya sama cowok ganteng itu, tapi iseng–iseng gue lirik dia, eh dia senyum sama gue, Dea! Dan senyumnya itu yang bikin gue ngga nahan. Jantung gue ini langsung dag-dig-dug ngga karuan kayak yang jungkir balik berapa kali.”, kata Muti dengan gemasnya sampai penumpang dalam bis itu meliriknya. Dangan semangat ’45 Muti terus bercerita dan Dea dengan setia mendengarkan.
“Hh… kemaren tuh gue benar–benar kena demam, muka gue udah pucat banget! Dan cowok itu terus merhatiin gue, sampai akhirnya dia lepas jaketnya dan ngasih jaket itu ke gue sambil bilang ‘Kayaknya kamu sakit. Pake aja jaket ini!’. Ah, Dea… suaranya merdu banget waktu ngomong gitu. Pokonya hati gue ini dibikin jungkir balik saking senengnya.”
“Kenapa lo ngga jungkir balik beneran aja di terminal itu biar langsung sadar dari mimpi?”, potong Dea.
“Iiih… gue ngga mimpi kok! Begitu hujan reda, cowok itu langsung pergi tanpa minta jaketnya balik. Dan gue pun lupa ngembaliin, karena terlena oleh kehangatan jaketnya itu!”, suara Muti nampak melembut, menghayati tiap kata–katanya sampai matanya terpejam saat bicara.. Dea langsung menjitak kepalanya.
“Aauuw! Sakit tahu! Huuu… lo ngga seneng banget sih lihat gue jatuh cinta kayak gini.”
“Ah, lo lebay tahu, Mut! Kan belum tentu lo jatuh cinta gitu aja sama orang yang ngasih pinjem jaketnya. Lagian, cowok itu kayaknya cuma kasihan liat lo!”
“Tapi sampai rumah jantung gue ini berasa deg – degan terus.”
“Yaelah… tiap hari juga jantung lo kan tetep deg – degan. Kalau ngga, mati dong?!”
“Idiiih.. ini sih beda, detakannya kayak detakan cinta! Hahaha!”
“Jijik banget sih lo ngomongnya. Lo mau kuliah di sastra ya nanti? Sok berpuitis begitu!”
“Hmm.. apa ini yang namanya love at the first sight?”, Muti tidak menghiraukan komentar Dea. Ia malah mengakhiri ceritanya dengan gaya seorang sastrawan yang sedang membaca puisi di panggung teater.
“Hmpffhh!”, Dea berusaha menahan tawa melihat tingkah konyol Muti. “Bang, stop depan!”, katanya pada kondektur ketika melihat gerbang kompleksnya.
Dea tak banyak berkomentar lagi. Tapi tingkahnya jadi aneh dan membuat Muti bingung sekarang. Dea sepertinya menahan tawa sejak turun dari bis tadi.
“Lo kenapa sih, De? Kayak yang nahan tawa gitu dari tadi?”
“Gue masih ngerasa lucu sama kelakuan lo ini. Aduh Muti, jangan sampai hati lo back roll ya setelah lo susah payah jungkir balik!”
“Kok malah ngomongin olahraga siih?”
“Bukannya ngomongin olahraga! Tadi kan lo bilang cowok itu udah bikin hati lo serasa jungkir balik, nah gue ingetin aja jangan sampai  cowok itu bikin hati lo back roll alias kembali kecewa! Lagian apa lo tahu nama cowok itu?”
“Ngga sih”, Muti hanya nyengir ditanya seperti itu.
“Dia ngasih alamat rumah?”
“Ngga juga!”
“Nomer telepon?”
“Kayaknya dia lupa ngasih!”
“Yakin lo bakal ketemu lagi?”
“Kalau soal itu, gue yakin! Banget!”
“Hahaha, ternyata gini ya kalau Muti jatuh cinta!”, kata Dea sambil tertawa.
“Kenapa malah ketawa?”, Muti jadi bingung melihat Dea. Tapi dia tidak mau terlalu ambil pusing. Muti kembali asyik dengan hatinya yang berbunga–bunga.
Sepanjang jalan, Muti terus tersenyum sendiri, tampak dari langkahnya benar–benar sedang bahagia. Sementara Dea masih geli melihat tingkah Muti.
Setelah lima menit berjalan, akhirnya mereka sampai di depan pagar rumah Dea. Mereka bertemu dengan Tessa, kakaknya Dea.
“Hallo Mbak Tessa! Mau pergi ya?”, sapa Muti dengan senyum.
“Iya nih, lagi nunggu Rio!”, Tessa membalas senyum Muti.
“Denger–denger Mbak Tessa udah tunangan? Kok Muti ngga diundang? Wah, ngga ketahuan pacarannya udah tunangan lagi. Bentar lagi married dong!”, goda Muti. Tessa tersenyum menanggapinya.
“Kata Dea, waktu itu kamu ngga bisa datang karena ada acara keluarga bukan?”
“Oh, iya ya.. Muti lupa! Hehehe!”
“Masa udah pikun lagi. Emang kamu mikirin apa sih sampai lupa sama kejadian yang belum lama?”
“Muti emang lagi lupa diri, mbak! Yang dia inget cuma pemuda terminal.”, sela Dea dengan senyum menggoda. Tessa mengerutkan alisnya tanda kebingungan dengan kata–kata adiknya. “Gini mbak, Muti juga lagi jatuh cinta sekarang. Jadi dia lupa sama yang lain, yang dia inget cuma cowok yang dia temuin di terminal kemaren waktu ujan. Hahaha! Aneh kan?”, Dea masih menganggap apa yang dialami Muti adalah konyol.
“Huh! Dea sirik aja sama aku, mbak! Dia dari tadi ngetawain terus sih. Wajar aja kan kalau aku jatuh cinta sama cowok?”, Muti membela diri.
“Iya wajar aja kok, Mut! Si Dea itu emang suka begitu, ngga pengertian kalau ada orang yang lagi jatuh cinta. Tapi, kalau cowoknya emang baru ketemu kemaren, cepet banget kamu jatuh cintanya. Emangnya siapa namanya?”
“Nah itu dia mbak, Muti ngga tahu nama orang yang udah bikin hatinya jungkir balik kayak gini.”
“Lho? Kok aneh sih. Kamu ngga kenalan sama dia?”
“Mm… lupa, mbak!”, Muti nyengir kuda menyadari kebodohannya.
“Dia emang suka ijo lihat cowok cakep mbak. Makanya dia cepet aja ngambil kesimpulan kalau dia itu jatuh cinta.”, timpal Dea.
“Emangnya yakin bakal ketemu lagi?”, tanya Mbak Tessa dengan nada yang sama saat Dea bertanya seperti itu.
“Kalau soal itu, aku yakin! Banget!”, Muti pun membalasnya dengan nada bersemangat seperti tadi.
“Ya udah deh, mbak doain semoga kamu bisa ketemu lagi sama orangnya!”
“Hehehe! Makasih ya, mbak! Ngomong – ngomong, ntar kenalin aku sama Rio dong!”
“Bentar lagi juga dia datang. Ntar mbak kenalin sama kamu, asal janji kamu ngga bakalan jatuh cinta. Nanti kamu cepet pindah ke lain hati lagi, Rio nya mbak cakep lho. Hehehe!”
“Tenang aja mbak, ngga secepat itu kayaknya Muti bakal berpaling dari si pemuda terminal.”, sindir Dea.
Tiba – tiba terdengar suara deru mesin motor di depan pagar rumah. Ketiga cewek tadi langsung bergegas menghampiri orang yang baru datang itu.
Cowok yang barusan datang itu membuka helmnya tanpa turun dari motor.
“Hai, Dea!”. Sapa cowok itu pada calon adik iparnya.
“Hallo Kak Rio!”, balas Dea.
“Muti, ini Rio tunangannya Mbak Tessa! Dan Yo, ini Muti temennya adikku!”, Tessa memperkenalkan cowok yang ternyata tunangannya pada Muti. Muti tidak berkomentar, dia hanya diam mematung dengan ekspresi melongo seperti orang idiot. Muti merasa seluruh badannya kesemutan dan mati rasa.
“Hai, seneng bisa ketemu lagi. Kamu kelihatan lebih sehat daripada waktu di terminal nunggu hujan kemaren.”, sapa Rio dengan senyum yang sama yang pernah dilihat Muti sebelumnya. Senyum yang sempat membuat hatinya serasa jungkir balik. Muti masih diam juga ketika Rio menyapanya.
“Seneng ketemu lagi?”, Dea keheranan, dia mengulang kata – kata Rio dengan intonasi penuh tanda tanya.
“Kemaren kita ketemu di terminal.”, Rio menjelaskan.
Dea ikut tertegun seperti Muti. Sementara Rio dan Tessa langsung pamit dan pergi dari hadapan keduanya.
“De?”, Muti memanggil tanpa melirik.
“Hm?”
“Ada kerjaan rumah yang belum beres ngga?”, tanya Muti dengan lemasnya.
“Ngga tahu, cek aja! Mungkin di dapur ada piring kotor.”, kata Dea setengah geli namun kasihan juga melihat temannya bersedih dan seperti habis melakukan back roll dengan terpaksa.
Muti langsung membalikkan badan seperti robot dan bergegas pergi ke dapur untuk menumpahkan kesedihannya.
“Wah, kayaknya rumah gue bakal kinclong kalau anak itu sesedih ini. Tapi kasihan juga Muti. Dia jadi patah hati.”, bisik Dea sambil terus memperhatikan Muti berlalu masuk ke dalam rumah.
****

WAKE UP TOD!


PIIP!
Handphone Yura berbunyi sangat nyaring.  Diliriknya hp nya itu sebentar saja untuk melihat siapa pengirimnya.. “Tody!”, bisiknya sambil kemudian menyambar hp nya itu.
‘kayaknya nanti malem gue bakal diputusin cewe gue’
Yura mengkerutkan kening karena keheranan. “Kenapa ni anak tiba-tiba sms kayak gini?”, katanya sambil mengetik balasan untuk Tody.
‘kenapa lo ngomong gitu? Tau darimana lo? Semoga aja ngga, positive thinking aja dulu.’ Sent!
Tidak ada balasan lagi, Yura melanjutkan kegiatan awalnya yang sedang membuat laporan tugas praktik. Dia terus bekerja tanpa di ganggu oleh sms lainnya, sampai tiba waktunya pulang dari tempat PKL.
***

                Mata Yura terasa sangat berat, padahal waktu masih menunjukkan pukul 21.00, mungkin dia kelelahan. Radio di kamarnya terus memutar lagu-lagu sendu, membuat suasana semakin mengantuk. Hampir saja matanya benar-benar terpejam, tiba-tiba terdengar suara ibunya. “Ra, ada Tody tuh!”.
                Spontan mata Yura terbelalak kembali, malah jantungnya berdebar, entah karena kaget dibangunkan atau kaget karena kedatangan Tody malam-malam kerumahnya. Dia pun bergegas mencuci muka dan turun ke bawah untuk menemui sahabatnya itu.
                “Hey tod, abis mandi dimana lo malem-malem gini?”, guraunya karena melihat Tody basah kuyup, padahal dia tau itu pasti karena hujan. Tampang Tody tidak menunjukkan dia sedang mood untuk bercanda, jadi Yura cepat-cepat memberinya minuman.
                “Lo kenapa? Gimana tadi? Abis dari rumah Ammi?”
                “Gue diputusin!”
Mulut Yura langsung menganga, matanya langsung melotot. Tapi kok, hatinya sedikit merasa lega. Ah, mungkin karena Yura memang kasian dengan sahabatnya itu yang selama ini kalau bercerita selalu mengatakan tidak pernah dihargai oleh pacarnya itu. Walaupun Yura belum pernah bertemu sama sekali dengan Ammi, pacarnya Tody, lebih tepat mantannya sekarang ini, tapi Yura merasa gadis itu memang tidak begitu baik untuk orang sebaik Tody. Tapi dia tidak pernah berani mengutarakan apa-apa karena takut terlibat lebih jauh lagi. Dan sekarang, dia harus menampung curhat sahabatnya yang entah sedang merasa sedih atau lega.
“Gimana bisa? Emang lo salah apa lagi?”
“Iya sebenarnya gue udah feeling banget dari seminggu ini. Dan waktu minta gue buat ke rumahnya malam ini, gue udah firasat kalau dia mau mutusin gue. Ngga secara langsung sih, dia Cuma nanya awalnya ‘emang mau punya pacar yang sibuk kerja, jarang ketemu’ ah pokonya basa-basi gitu. Langsung aja gue tembak ‘bilang aja langsung Mi ada apa? Kenapa ngomong kayak gitu?’ terus dia bilang ‘Iya kita masing-masing aja dulu ya.’ Dia bilang gitu..”
“kenapa tiba-tiba dia bilang gitu? Masa alasannya Cuma karena dia sibuk dan kalian jarang ketemu? Kalau masih sayang ya buat apa putus.”
“Iya gue juga bingung makanya langsung aja gue tanya ‘aku ngga keberatan kalaupun dia sibuk dan jarang ketemu. Kalau Cuma karena itu aku ngga mau putus’ tapi dia malah bilang ‘sebenernya Ammi ngga enak sama kamu, soalnya kamu pernah bilang kalau udah bosen sama cewe bakal langsung ninggalin, sejak itu perasaan aku ke kamu berubah..bla..bla..bla’ dia malah ngurai semua kesalahan gue yang dulu-dulu. Semuanya dia keluarin tadi ampe gue ngga bisa ngomong apa-apa karena gue pikir selama ini ya dia ngerasa aman-aman aja sama gue. Dan yang paling gue ngenes waktu gue tanya ‘jadi selama ini kamu bilang sayang itu apa?’ dia jawab apa coba?”
“Apa? Cepetan deh ah, kayak ujian aja kudu ditebak segala”
“Dia bilang ‘Cuma pura-pura’, gitu katanya. Pedih banget hati gue”
“Hahahaha. Masa sih tuh cewek bilang kayak gitu? Tega amat.”
“Kenapa lo malah ketawa?”
“Ngga apa-apa, lucu aja liat lo ditipu gitu. Kasian juga sih gue sama lo. Dari sejak gue sering denger cerita lo sama cewek lo itu gue emang ngerasa kayaknya dia ga bener-bener juga tuh sama lo. Masa ada orang yang katanya sayang tapi nganggurin cowoknya berjam-jam diruang tamu sendirian sedangkan dia asik-asikan telepon sama cowok lain. Dan lo juga diem aja digituin. Gemes gue jadinya”
“Gue ampir nangis waktu dia mutusin gue tadi. Mana dia juga langsung meluk gue dan nangis juga.”
“Hah? Lo nangis? Emang sesayang itukah lo sama dia? Dia juga nangis? Berarti dia masih sayang dong sama lo? Kenapa ngga lo tolak aja ajakan putusnya?”
“Ampir! Gue emang masih sayang sama dia tapi gue sakit hati juga sama omongannya soal kesalahan-kesalahan gue yang dulu. Kenapa ngga bilang dari dulu, jadi bisa gue perbaiki. Ngga tau kenapa dia nangis, kasian sama gue kali.”
“Hahahaha!”
“Ketawa lagi ini anak gila.”
“Abis emang kasian banget jadi lu. Hh.. “
Kriiiinnggg! Tiba-tiba handphone Tody berbunyi. Cowok itu langsung mengangkat teleponnya. Dia nampak bercakap-cakap dengan penghuni rumahnya. Selesai menutup telepon, wajahnya langsung berubah semakin masam.
“Kenapa lo?, tanya Yura.
“Rumah gue kebanjiran, ngga bisa pulang jadinya. Disuruh nyari tumpangan di rumah temen aja.”, kata Tody dengan wajah yang semakin sedih.
“Ckckckckcck… ahahahah, Tody… Tody.. malang sekali nasibmu hari ini, Nak! Ya udah nginep di rumah Dinyo aja.”
“Kejauhan.. Lagian dia susah dihubungi. Gue sms sodara gue aja deh yang rumahnya deket situ.”
Tody nampak tenang dengan handphonenya, dia sedang mengetik sms sepertinya. Tapi tak berapa lama dia kembali pada percakapannya bersama Yura. Mukanya semakin kusut saja, badannya yang basah membuat Yura merasa ikut sedih melihat keadaan sahabatnya itu. Gadis itu pun berusaha menghiburnya.
“Ya udah Tod, mungkin Ammi bukan yang terbaik buat lo. Masih ada cewek baik yang bisa menghargai cowok sebaik lo. Percaya aja itu! Hehehe. Sedih sih wajar, tapi lo jangan mau diperbudak sama perasaan juga. Walaupun lo sayang sama dia, coba pikirkan apa yang pernah dia lakuin sama lo biar lo juga bisa cepet lupa dan nyari penggantinya. Gue pasti dukung lo, doain lo. Gue juga ngga enak kalau sahabat gue diperlakukan kayak gitu sama ceweknya. Kalau lo mau cewek cantik, lebih baik cari cewek yang bener-bener lo cintai karena hati, dengan sendirinya cewek itu bisa jadi cantik di mata dan hati lo.”
“Hahahaha, bisa juga lo ngomong kayak gitu.”, sekarang giliran Tody yang tertawa.
“Eh gue gini-gini penasehat cinta yang handal. Lo sih curhat sama guenya baru-baru ini. Dulu-dulu mana mau cerita lo sama gue, nganggap gue ada aja ngga pernah kayaknya.”
“Siapa bilang gue nggak nganggap lo? Eh, dulu-dulu tuh gue sering merhatiin lu kali.”
“hahaha, jangan bilang dulu lu suka sama gue lagi?”
“Iya, dan sekarang jangan bilang lu yang suka sama gue.”
“Hahahahaha!”
“Eh, gue nginep sini aja ya?”, kata Tody tiba-tiba.
“Eh?”, Yura nampak bingung. “Bilangnya langsung sama ortu gue aja deh, kalau gue sih sok aja.”
Tody pun mengumpulkan segenap keberanian untuk meminta ijin pada kedua orang tua Yura untuk menginap dirumahnya. Entah angin apa yang membawa pemuda itu menjadi cukup berani dan ternyata diijinkan. Tody bernafas dengan lega, dan Yura diam-diam tersenyum senang. Dengan sigap gadis itu langsung mengambilnya baju ganti dan selimut untuk Tody. Dan dengan bangganya dia memberikan selimutnya yang bau petapa ngga mandi 10 tahun. Tody dan Yura pun tidur di masing-masing kamarnya, dengan perasaan yang mereka bawa masing-masing.
Di kamar Yura tersenyum sendiri. Dia pun merasa heran kenapa dia begitu senang dengan berita putusnya Tody. Perasaan itu datang lagi, pertanyaan itu datang lagi “Apa iya gue suka sama Tody?”. Tapi langsung dia tepis sendiri. Dan untuk menghilangkan perasaan itu cepat-cepat, dia pun kembali berusaha mengumpulkanr rasa kantuk yang tadi sempat hilang karena kedatangan Tody. Akhirnya tidur juga…
***

Sudah berlalu seminggu hari dari kejadian Tody diputuskan pacarnya itu. Yura dan Tody belum bertemu lagi, belum berhubungan lagi. Yura pikir mungkin Tody sedang tidak punya bahan untuk diceritakan makanya dia tidak menghubunginya sama sekali. Siang itu dia sedang di tempat PKL nya dan sedang bermain games di komputernya. Tiba-tiba ada sms masuk, seperti biasa, gadis itu melirik hp nya terlebih dahulu. Tody! Dibacanya langsung sms itu.
‘Ntar malem gue kerumah lo lagi ya.’ Yura langsung membalas, tentu saja dengan jawaban ‘Ya’ karena mau mengakui atau tidak itu adalah yang diharapkan Yura. Dia menjadi tidak sabar menunggu waktu pulang. Sampai-sampai begitu jam pulang tiba, dia tidak banyak melakukan hal lain selain bergegas pulang kerumahnya. Dan diam tenang dirumah menunggu kedatangan sahabatnya itu.
Waktu terus berlalu, hujan mulai mereda, dan Tody pun datang tepat pukul 20.00. kali ini Yura yang menyambutnya langsung, bukan ibunya. Tody masuk dengan setengah basah kuyup namun dengan tampang lebih setengah sumringah dibanding waktu itu. Yura langsung mempersilahkan sahabatnya itu masuk.
“Ada cerita apalagi Tod? Hehehe”, Yura langsung saja menembak Tody dengan pertanyaan inti tanpa memberinya minum terlebih dahulu.
“Di luar hujan, tapi di rumah lo kemarau ya?”, sindiri Tody. Wajah Yura langsung masam, dia pun mengambil air ke dapur sambil nyengir. Lalu diserahkannya segelas air yang langsung diteguk oleh Tody begitu saja.
“Ammi ngajak balikan.”
“Hah?”, ekspresi Yura tidak jauh berbeda dengan ketika dia mendengar Tody diputuskan seminggu yang lalu. Entah kenapa hatinya malah merasa tertusuk. Tapi Yura langsung memasang tampang senangnya.
“Wah, bagus dong. Itu kan harepan lo.”
“Iya. Tapi…”
“Kenapa? Jangan bilang lu nolak dia?”
“Iya gue tolak.”
Yura terdiam, tidak ada komentar. Dia ingin tersenyum tapi dia tahan, hatinya merasa terobati dengan cepat. Dia kembali menunggu Tody bercerita.
“Sehari setelah mutusin gue, Ammi langsung berubah sikap. Dia lebih intens sms gue, malah kita udah beberapa kali jalan minggu ini, dan selalu dia yang ajak. Gue juga awalnya ngga ngerti kenapa dia malah jadi baik setelah kita putus. Eh, taunya waktu hari apa gitu, dia nyuruh gue maen kerumahnya lagi dan disana dia ngajak balikan.”
“Oh gitu.. terus kenapa lo tolak?”
“Iya waktu itu gue masih ragu, jadi gue bilang belum bisa balikan sekarang.”
“Nyesel?”, tanya Yura berharap jawaban Tody “Ngga”, tapi..
“Iya, gue nyesel, makanya dua hari kemudian gue balik kerumahnya dan ngajak dia balikan. Tapi tau apa yang terjadi? Ternyata dia udah jadian sama cowo lain. Dan dia terima karena cowok itu bilang langsung sama orangtuanya.”
“Wah? Jadinya lo gimana sama dia sekarang?”
“Tetep balikan.”
Mendengar kalimat itu, entah apa yang Yura rasakan. Yang jelas dia merasa dadanya sesak. Ada perasaan sakit yang tidak dia mengerti. Perasaan yang sedari dulu di tepis, dia tolak dalam hati dan pikirannya. Dia merasa dirinya tidak mungkin menyukai sahabatnya itu. Seharusnya Yura senang Tody mendapatkan kembali gadis yang memang sangat disayanginya.
“Lo jadi selingkuhannya?”, tanya Yura ragu-ragu.
“Gue ngga tau. Gue bingung, dia sih bilangnya masih sayang sama gue dan ngga sayang sama cowok barunya ini. Dia tetap mau jalan sama gue. Lagian cowok barunya itu jauh.”
“Oh.”, hanya itu yang bisa Yura katakan. Ada kekecewaan dalam hatinya, kenapa sahabatnya itu mau dijadikan yang kedua. Tapi itu adalah hak Tody, dan dia sekarang semakin sadar dia dan Tody hanya bisa bersahabat, mungkin perasaannya salah pada cowok itu.
Tody pun pulang setelah selesai bercerita, tidak menginap seperti waktu itu. Sendangkan Yura langsung terdiam di kamarnya, merenungkan cerita Tody tadi.
Cowok itu, apa sih yang ada dalam pikirannya? Seiistimewa itukan cewek yang namanya Ammi itu di mata Tody? Ammi emang cantik, tapi kok dia ampe mau digituin sama cewek sih? Orang sebaik dia ngga pantes diperlakukan kayak gitu. Gue tau, Tody lebih bisa bahagia dengan cewek yang bisa ngehargain keberadaan dia, kayak gue. Eh? Kayak gue? Emang gue kanapa?
Yura langsung garuk-garuk kepala untuk membuyarkan pikirannya. Dia mengambil minum dan menenggaknya sampai habis. Segala hal dia lakukan untuk mengalihkan perhatian dari apa yang dia pikirkan sekarang. Tapi beberapa saat dia diam, teringat apa yang diceritakan Tody, tiba-tiba saja Yura menangis. Terdengar lagu ‘You Belong With Me’ dari radionya. Akhirnya Yura tidak bisa menolak apa yang dia rasakan dan dia pikirikan.
Gue cemburu, gue sakit hati kenapa Tody harus balik sama cewek itu. Gue… gue sayang sama dia, tapi dia ngga pernah sadar itu. Dan gue rasa itu ngga boleh terjadi. Mana mungkin Tody melirik ke arahnya. Jelas-jelas dia udah nemuin apa yang dia mau. Tapi gue ngga bisa terima kalau Tody Cuma dijadiin selingan. Wake up Tod!