Selasa, 17 Februari 2015

HARI KETIGA PULUH


Sore yang sepi membuat Kilara merasa tenang duduk di bangku taman belakang kampus sambil mengulum permen karetnya seperti biasa. Sampai tiba–tiba terdengar suara seseorang yang berjalan menghampirinya.

“Berapa haraga sewa lo satu bulan?”, tanya sebuah suara. Kilara yang menggelembungkan permennya dengan santai menengadah ke arah suara. Ternyata Rafka, cowok jutek yang jadi idola cewek – cewek kampus pada umumnya.
“Gue tahu lo itu temen kencan bayaran kan?”, Rafka kembali bersuara melihat diamnya Kilara. Mata elangnga yang dingin menatap lekat cewek yang asyik mengulum permen karet itu. Kilara tersenyum kecut.
“Berani bayar berapa lo?”, tanya Kilara sambil mengembalikan pandangannya ke depan. Walaupun Kilara tidak menampik perkataan Rafka, namun ada sedikit rasa tersinggung karena yang menawarnya adalah anak kampusnya.
Sebenarnya Rafka dan Kilara tidak begitu saling mengenal. Hanya saja selama ini Rafka selalu menawarkan cokelat yang diberikan cewek – cewek kampus yang naksir dia pada Kilara. Hal itu dikarenakan letak loker mereka yang berdekatan. Kilara selalu kebetulan ada pada saat Rafka menerima sekotak hadiah dari cewek – cewek yang entah mendapatkan kunci lokernya dari mana. Dan tanpa berkata apa – apa, Rafka hanya menyodorkan cokelat pada Kilara yang secara otomatis tentu saja Kilara menerimanya. Dia paling anti menolak rezeki. Walau begitu mereka belum pernah saling bicara. Dan kalimat Rafka tadi adalah kalimat pembukaan mereka.
“Lo yang nentuin! Lo boleh mikir dulu! Gue tunggu keputusannya!”, setelah berkata begitu, Rafka pergi meningglakan Kilara lagi. Kilara hanya tersenyum hambar tanpa berkomentar.
***
“Lima juta! Gue mau dibayar lima juta!”, ucap Kilara dengan lantang. Rafka yang sedang bermain basket sore itu di lapangan kampus langsung menoleh ke arah Kilara yang tiba – tiba menghampirinya.
“Ok!”, balasnya mantap, semantap bola yang baru saja dimasukannya ke ring. Kilara malah melongo, sementara Rafka menlanjutkan permainannya.
“Gue minta lima juta dari lo tanpa lo apa – apain! Cuma minjemin status temen kencan doang!”, ujar Kilara lagi. Rafka tidak segera menjawab, tapi dia berhenti bermain dan menarik Kilara dari keramaian. Sekarang mereka ada di taman kemarin.
“Gue bakal bayar lo emang cuma buat jadi cewek gue selama sebulan. Dan gue emang ngga akan minta yang aneh – aneh dari lo!”, kata Rafka dengan nada yang khas.
“Hohoho. Ternyata lima juta ngga ada apa – apanya buat lo? Eits, tapi gue juga masih punya permintaan lain. Nih!”, Kilara menyodorkan selembar kertas.
“Apa ini?”, tanya Rafka bingung.
“Daftar harga! Siap – siap kalau lo berani macem – macem! Asal lo tahu aja, gue ngga terlalu murahan dan ngga sembarangan bisa diapa – apain sama temen kencan gue. Gue cuma bertugas nemenin mereka, dan juga itu berlaku buat lo! Kalau lo coba meluk gue, lo harus bayar seratus ribu! Kalau nyium gue, dua ratus ribu, dan kalau lo minta yang lebih aneh lagi, nyawa bayarannya!”, celoteh Kilara panjang lebar sambil mencondongkan ranting ke arah Rafka saat mengucapkan kalimat terakhirnya.
“Gimana, sanggup ngga lo?”, tanyanya lagi. Rafka tanpa sadar mengembangkan senyumnya karena menperhatikan tingkah Kilara.
“Ok! Gue sanggup!”, ujarnya kemudian. Sekarang gantia, Kilara yang memperhatikan Rafka dengans seksama.
“Ada apa lagi?”, tanya Rafka heran melihat cara Kilara menatapnya.
“Barusan lo senyum ya? Gue baru pertama kali ini ngeliat lo senyum.”, Rafka diam saja menanggapi perkataan Kilara.
“Gue juga ada permintaan! Selama sebulan ini, lo ngga boleh kencan sama cowok laen! Dan jangan dandan slengean kayak gini. Lo harus lebih cewek, kayak biasa kalau lo mau nemenin cowok kencan.”
Kilara menatap heran lagi. Tak menyangka banyak hal yang diketeahui Rafka tentang dirinya. Dia memang senang berdandan acuh kalau pada saat di kampus. Berbeda kalau dia biasa menemani cowok untuk kencan saja. Suasana jadi sanga hening. Namun tiba – tiba Kilara teringat sesuatu.
“Oh iya, gue mau tanya! Kenapa lo nyewa gue selama satu bulan?”
“Apa lo juga biasa nanyain ini sama cowok – cowok lain yang biasa nyewa lo buat diajak kencan?”, tanya Rafka datar. Kilara BT ditanyai seperti itu karena Rafka sering mengungkit apa yang dia kerjakan selama ini.
“Gue ngga pernah nanya mereka, karena udah pasti alasannya cuma pengen senang – senang aja.”, ujar Kilara tenang. “Tapi gue yakin lo ngga kayak yang lainnya. Pasti ada alasan tertentu sampai lo rela bayar mahal. Padahal gue asal – asalan pasang harga. Tahu lo bakal setuju – setuju aja, gue  minta lebih gede.”
“Gue muak sama cewek – cewek itu! Siapa tahu dengan adanya cewek di sebelah gue, mereka mulai menyerah dan berhenti ngebuntut!”
“Dasar cowok aneh! Banyak yang suka kok malah ngga mau.”, bisik Kilara.
***
Perjanjian itu benar – benar berlangsung. Di kampus, Rafka dan Kilara tampak seperti orang berpacaran dan ternyata memang sedikit berpengaruh pada cewek – cewek yang biasa meributkan Rafka. Walaupun masih ada yang memberi Rafka cokelat atau makanan lainnya,tapi tidak sesering dulu.
Kilara jadi kena imbasnya. Tidak jarang cewek yang naksir Rafka menyindirnya bahwa ia tidak pantas dengan Rafka. Atau ada juga yang meringis ke arahnya. Namun Kilara cuek saja. Ia sudah tahu konsekwensinya dari awal.
Hari demi hari terus berlalu, tanpa Rafka dan Kilara sadari, mereka semakin akrab. Semenjak mengenal Kilara, Rafka lebih sering tertawa dan tersenyum dari biasanya. Kedekatan mereka di kampus membuat harapan cewek – cewek yang naksir Rafka hampir kandas. Bahkan sudah hampir satu minggu terakhir ini Rafka tidak lagi disibukkan dengan pemberian dari para cewek yang mencoba mencuri perhatiannya.
Seperti siang ini, Kilara dan Rafka menghampiri loker mereka.
“Ngga ada!”, seru Rafka begitu membuka lokernya. Senyum tipis terkembang di bibir Rafka, namun Kilara cemberut karena kehabisan jatahnya.
***
Kilara mencoret satu tanggal di kalendernya.
Ngga kerasa udah hari ke dua puluh tujuh gue jadi pacar bayarannya Rafka. Bisik hati Kilara. Ia jadi tersenyum sendiri ketika mengingat kembali masa – masa yang dilewatinya dengan Rafka. Ada perasaan aneh yang menggelitik hatinya. Ia merasa berbunga – bunga membayangkan kembali sikap Rafka padanya selama ini. Namun Kilara langsung tersadar sesuatu, dan langsung menepis semua perasaanya.
“Alah, apa – apaan sih gue? Ini kan Cuma pura – pura. Kenapa gue jadi peduli sama sikap dia? Ngga penting!”, ujar Kilara pada diri sendiri. Kilara jadi cemberut ketika sadar akan hal itu. Tapi ia langsung kembali tersenyum mengingat sesuatu.
“Hh… ada yang lebih penting dari itu.”, kata Kilara sambil melompat dari tempat tidurnya untuk mengambil sebuah note book mini. “Bon buat si gila Rafka. Dia harus bayar semua yang udah dia lakuin ke gue. Kan cuma sandiwara.”, Kilara tersenyum menghibur diri. Dengan seksama Kilara membaca catatan kecilnya. Dan selalu mencatat semua hal yang dilakukan Rafka padanya dan langsung menaruh harga seperti yang ia sampaika di awal perjanjian.
“Genit juga tuh cowok!”, gumamnya. Kilara tersenyum hampa mengingatnya. Tiba – tiba Hp nya berbunyi. Dia langsung menjawab teleponnya.
“Hallo?”, sapanya begitu mengangkat telepon.
“Gue butuh lo malam ini!”, ujar seseorang di seberang sana dengan nada suara yang sudah sangat dihafal Kilara.
“Rafka?”, bisik Kilara.
“Gue tunggu lo di taman kota!”
“Tunggu! Ini kan di luar jam perjanjian. Ada urusan apa ya?”, Kilara sudah merasa yakin itu Rafka.
“Gue bakal bayar lo kalau itu masalahnya. Tapi gue mohon, lo datang!”
“Tapi...”, kata – kata Kilara terputus karena teleponnya pun terputus. Kilara jadi diam kebingungan menatap Hp nya.
***
Setengah jam yang lalu Rafka membawa Kilara ke suatu tempat. Nampak seperti atap gedung. Kilara jadi makin dibuat bingung karena Rafka belum berkata sepatah kata pun. Mereka hanya duduk menatap lampu kota dalam kesunyian. Kilara tidak protes sama sekali. Entah perasaan apa yang memaksanya untuk tetap sabar menunggu Rafka bersuara. Dan saat itu pun tiba..
“Apa selamanya seorang anak itu harus berbakti pada orangtuanya? Bahkan pada orangtua yang ngga peduli sama perasaan anaknya yang terlantar? Setiap hari hanya sara ribut – ribut yang bisa didenger. Atau kadang rasa kesepian yang terus menyerang.”
Kilara terbelalak mendengar ucapan Rafka yang tiba – tiba itu. Diliriknya cowok yang duduk di sampingnya itu.
“Lo kenapa, Raf? Ada masalah”, tanya Kilara ragu. Rafka hanya diam ditanya seperti itu. Kilara semakin teliti melihat wajah Rafka. Samar ia melihat pipi Rafka yang biru. Ia langsung memalingkan wajah Rafka ke depan mukanya, dan luka yang samar itu kini makin jelas.
“Pipi lo kenapa?”, tanya Kilara ingin tahu. Tapi Rafka tetap diam dan segera melepaskan wajahnya dari tangan Kilara.
“Lo tahu, Ra? Gue ngga pernah bisa bener – bener tahu caranya menyayangi orang karena di rumah gue ngga ada kasih sayang. Gue ngga diajarin untuk itu. Makanya, mungkin karena itu juga gue ngga pernah bisa nerima sikap cewek – cewek di kampus. Gue ngga bisa liat bokap gue yang selalu berantem sama nyokap gue. Dan tiap gue lawan, ngga hanya luka – luka yang biru ini yang gue dapet, tapi juga hati gue yang makin dingin dan kebal sama rasa sayang. Gue ngga pernah sesadar ini kalau ternyata gue orang yang menyedihkan. Ngga pernah punya orang yang bisa gue percaya untuk tempat gue berbagi.”,Rafka lalu melirik Kilara. “Tapi gue bisa nemu itu dalam diri lo.”, lanjutnya.
Kilara tersentak mendengarnya. Ia lalu memalingkan wajahnya dari Rafka.
“Jangan pernah ngerasa diri lo yang paling menyedihkan di dunia ini. Gue juga punya trauma keluarga kok. Gue kayak gini juga karena bokap gue yang tukang selingkuh. Ngga jauh menyedihkannya dari ngga punya keluarga yang harmonis kan? Gue juga ngga percaya sama kasih sayang.”, ucap Kilara menjadi sama hampanya dengan Rafka. “Sampai gue ketemu lo.”, lanjutnya pelan nyaris berbisik. Rafka menatap lekat cewek yang ada di sampingnya itu.
“Hm, kalau lo mau meluk gue, nih! Gratis kok!”, seru Kilara merentangkan tangannya. Rafka mulai mendekat. Entah kenapa jantung Kilara malah berdebar tidak karuan. Dia menahan dada Rafka, lalu tersenyum kikuk. “Gue pinjemin punggung aja deh!”, ujarnya kemudian. Rafka pun tidak memprotes, ia langsung menyandarkan kepalanya ke punggu Kilara.
Beberapa saat suasana sangat sunyi. Kilara hanya merasakan hembusan nafas panas dari Rafka di punggungnya.
“Eh, gue ada sesuatu nih buat lo!”, tiba – tiba saja Kilara menarik badannya sehingga Rafka hampir terantuk. Rafka langsung menengadah kesal. Dan di hadapannya kini ada sebuah note.
“Apaan nih?”, tanyanya seraya mengambil note itu dari tangan Kilara.
“Bon buat lo! Kan tinggal tiga hari lagi. Lo kudu siapin semuanya!”
Rafka hanya tersenyum sambil geleng – geleng kepala lalu membaca note itu. Kilara tersenyum puas melihat Rafka kembali tersenyum.
***
Sejak malam itu, Kilara jadi kepikiran Rafka. Entah kenapa dia jadi semakin cemas akan berpisah dengan Rafka, tidak acuh seperti biasanya. Dan hari ke tiga puluh dari perjanjian itu pun tiba. Tapi Kilara malah menghindari Rafka yang terus mencarinya, bukannya datang menghampiri untuk meminta bayarannya.
Ada sesuatu yang Kilara sadari tepat di hari ketiga puluhnya bersama Rafka, bahwa ia jatuh cinta pada Rafka.
Malam itu pintu flat Kilara diketuk. Dengan ragu Kilara membuka pintu. Dan ketika ia tahu yang di luar itu Rafka, ia bergegas menutupnya kembali. Namun Rafka ternyata lebih gesit menahannya sehingga pintu pun terbuka.
“Lo kemana aja sih?”, tanya Rafka dengan nadanya yang khas.
“Gue... ada janji dulu. Jadi.. gue lagi buru – buru nih..”, Kilara ngeles dan hendak keluar flat namun Rafka langsung menarik lengannya.
“Tunggu, Ra! Ini bayaran lo!”, Rafka menarik tangan Kilara dan memberikannya sebuah amplop. Kilara langsung menarik tangannya menoleh untuk menerima amplop itu.
“Ini uang lo!”
“Gue ngga  bisa nerima bayaran dari lo?”
“Kenapa?”
Kilara diam tak menjawab. Ia tak berani menatap Rafka. Dan Rafka bisa membaca hal itu. Maka dengan gesit Rafka menangkap wajah Kilara dan memalingkannya pada pandangan matanya hingga pandangan mereka beradu.
“Kenapa?”, tanyanya lagi lebih pelan.
“Udahlah, Raf! Gue...”
“Gimana kalau gue bayar dengan cinta yang lebih tulus dari dua puluh sembilan hari kemaren?”, potong Rafka. Kilara terbelalak mendengarnya.
“Maksud lo?”
“Jadilah pacar gue seterusnya!”
“Gue ini cewek ngga bener, Raf! Gue ngga akan pantas buat lo! Gue ini orang yang menyedihkan..”
“Sama menyedihkannya dengan gue kan? Dan gue menyadari sesuatu di hari ketiga puluh ini...”
“Kalau?”
“Kalau gue mulai bisa ngerasain kasih sayang yang tulus dari lo.”
Kilara membisu mendengar kata – kata Rafka. Rafka kemudian memeluk cewek yang mulai disayanginya dengan tulus itu erat – erat.
“Please, Ra! Kita mulai semua ini berdua! Di hari ketiga puluh yang seharusnya akhir perjanjian kita, jadi awal dari semuanya.”
“Iya.”, gumam Kilara pelan namun jelas.
Rafka mendorong Kilara perlahan untuk bisa melihat raut muka Kilara. Cewek itu sudah menangis. Namun sesaat Kilara langsung tersenyum
“Kesadaran yang sama di hari ketiga puluh. Ternyata selama ini gue juga sayang sama lo, bukan karena gue bakal nerima bayaran semata.”, ujar Kilara.
Mereka tersenyum dan kembali berpelukan. Bertekad untuk mengawali semuanya menjadi lebih nyata dan bukan sandiwara di hari ketiga puluh perjanjian mereka.
****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar