Selasa, 17 Februari 2015

JUNGKIR BALIK HATI MUTI


Seharian ini tingkah Muti membuat semua teman–temannya bingung, termasuk sahabat terdekatnya, Dea, yang biasanya tahu segala hal yang terjadi pada Muti. Sepanjang hari ini kerjaan Muti hanya senyam - senyum sendiri atau bahkan dia mendadak menjerit kegirangan seperti mendapatkan sesuatu yang menyenangkan. Hal ini terjadi di kelas, di kantin, bahkan waktu latihan taekwondo tadi. Saking kelihatan girangnya, Muti yang imut itu mampu membanting sabem yang badannya jelas lebih besar dari Muti.
“Lo kenapa sih, Mut? Hari ini lagaknya kayak tante girang!”, tanya Dea seusai latihan taekwondo.
Muti tidak langsung menjawab, dia malah tersenyum manis menanggapi pertanyaan Dea. Dea makin bingung dibuatnya.
“Heran deh, kemaren di telepon lo  bilang lo kehujanan dan curiga ngga akan masuk sekolah. Tapi nyatanya hari ini lo masuk sekolah dengan tingkah aneh. Lo kesamber petir ya waktu kehujanan kemaren?”
“Anda benar dokter Dea! You are right kalau bahasa Inggrisnya. Gue kemaren emang kesamber petir, petir cinta tapinya. Hahaha. Tahu kenapa? Soalnya terminal tempat gue berteduh kemaren, malah jadi terminal cinta!”
“Hahaha! Benar – benar ngefek samberan petirnya. Selain bikin lo jadi aneh, tapi juga bikin anak ingusan kayak lo bisa jadi dramatisir gitu . Lebay dasar!
“Udah, lupain soal petir! Lo mau denger cerita gue ngga?”
“Yups! Itu yang gue tunggu dari tadi pagi. Cerita yang bisa ngasih penjelasan tentang semua tingkah aneh lo hari ini!”
“Tapi, kita ceritanya sekalian di jalan menuju rumah lo ya!”
“Hah? Ke rumah? Lo mau maen ke rumah gue dalam keadaan kayak gini?”
“Kayak gini gimana?”, tanya Muti tetap menjaga senyum sumringahnya.
“Mutiii.. kita sobatan udah cukup lama. Gue tahu pasti, lebih baik ngajak lo ke rumah kalau lo dalam keadaan sedih atau marah, soalnya rumah gue bisa jadi kinclong karena lo beresin. Tapi kalau lagi kesenengan kayak gini, sebaliknya rumah gue bisa ancur jadi kayak kapal Titanic! Apalagi kamar gue pasti bantalnya basah semua lo gigitin!”
“Hihihi. Lo ketakutan banget sih, itu kan kebiasaan lama, sekarang ngga lagi kok!”, Muti memasang tampang memohon.
Dea hanya menghela nafas. Akhirnya mereka pun menuju rumah Dea. Dan Muti pun mulai menceritakan semuanya di dalam bis menuju rumah Dea.
“Kemaren waktu gue neduh di terminal abis nelepon lo, ada cowok cakep yang naek motor neduh di terminal juga.”, Muti berhenti sejenak untuk mengingat kembali kenangan waktu di terminal kemaren. Lagi–lagi dia senyum sendiri.
“Cuma karena itu? Lo emang selalu ijo kalau lihat cowok! Lebih ijo daripada orang yang suka lihat duit!”
“Ngga! Bukan karena itu juga, ada hal lain. Awalnya kan gue cuek aja tuh ya sama cowok ganteng itu, tapi iseng–iseng gue lirik dia, eh dia senyum sama gue, Dea! Dan senyumnya itu yang bikin gue ngga nahan. Jantung gue ini langsung dag-dig-dug ngga karuan kayak yang jungkir balik berapa kali.”, kata Muti dengan gemasnya sampai penumpang dalam bis itu meliriknya. Dangan semangat ’45 Muti terus bercerita dan Dea dengan setia mendengarkan.
“Hh… kemaren tuh gue benar–benar kena demam, muka gue udah pucat banget! Dan cowok itu terus merhatiin gue, sampai akhirnya dia lepas jaketnya dan ngasih jaket itu ke gue sambil bilang ‘Kayaknya kamu sakit. Pake aja jaket ini!’. Ah, Dea… suaranya merdu banget waktu ngomong gitu. Pokonya hati gue ini dibikin jungkir balik saking senengnya.”
“Kenapa lo ngga jungkir balik beneran aja di terminal itu biar langsung sadar dari mimpi?”, potong Dea.
“Iiih… gue ngga mimpi kok! Begitu hujan reda, cowok itu langsung pergi tanpa minta jaketnya balik. Dan gue pun lupa ngembaliin, karena terlena oleh kehangatan jaketnya itu!”, suara Muti nampak melembut, menghayati tiap kata–katanya sampai matanya terpejam saat bicara.. Dea langsung menjitak kepalanya.
“Aauuw! Sakit tahu! Huuu… lo ngga seneng banget sih lihat gue jatuh cinta kayak gini.”
“Ah, lo lebay tahu, Mut! Kan belum tentu lo jatuh cinta gitu aja sama orang yang ngasih pinjem jaketnya. Lagian, cowok itu kayaknya cuma kasihan liat lo!”
“Tapi sampai rumah jantung gue ini berasa deg – degan terus.”
“Yaelah… tiap hari juga jantung lo kan tetep deg – degan. Kalau ngga, mati dong?!”
“Idiiih.. ini sih beda, detakannya kayak detakan cinta! Hahaha!”
“Jijik banget sih lo ngomongnya. Lo mau kuliah di sastra ya nanti? Sok berpuitis begitu!”
“Hmm.. apa ini yang namanya love at the first sight?”, Muti tidak menghiraukan komentar Dea. Ia malah mengakhiri ceritanya dengan gaya seorang sastrawan yang sedang membaca puisi di panggung teater.
“Hmpffhh!”, Dea berusaha menahan tawa melihat tingkah konyol Muti. “Bang, stop depan!”, katanya pada kondektur ketika melihat gerbang kompleksnya.
Dea tak banyak berkomentar lagi. Tapi tingkahnya jadi aneh dan membuat Muti bingung sekarang. Dea sepertinya menahan tawa sejak turun dari bis tadi.
“Lo kenapa sih, De? Kayak yang nahan tawa gitu dari tadi?”
“Gue masih ngerasa lucu sama kelakuan lo ini. Aduh Muti, jangan sampai hati lo back roll ya setelah lo susah payah jungkir balik!”
“Kok malah ngomongin olahraga siih?”
“Bukannya ngomongin olahraga! Tadi kan lo bilang cowok itu udah bikin hati lo serasa jungkir balik, nah gue ingetin aja jangan sampai  cowok itu bikin hati lo back roll alias kembali kecewa! Lagian apa lo tahu nama cowok itu?”
“Ngga sih”, Muti hanya nyengir ditanya seperti itu.
“Dia ngasih alamat rumah?”
“Ngga juga!”
“Nomer telepon?”
“Kayaknya dia lupa ngasih!”
“Yakin lo bakal ketemu lagi?”
“Kalau soal itu, gue yakin! Banget!”
“Hahaha, ternyata gini ya kalau Muti jatuh cinta!”, kata Dea sambil tertawa.
“Kenapa malah ketawa?”, Muti jadi bingung melihat Dea. Tapi dia tidak mau terlalu ambil pusing. Muti kembali asyik dengan hatinya yang berbunga–bunga.
Sepanjang jalan, Muti terus tersenyum sendiri, tampak dari langkahnya benar–benar sedang bahagia. Sementara Dea masih geli melihat tingkah Muti.
Setelah lima menit berjalan, akhirnya mereka sampai di depan pagar rumah Dea. Mereka bertemu dengan Tessa, kakaknya Dea.
“Hallo Mbak Tessa! Mau pergi ya?”, sapa Muti dengan senyum.
“Iya nih, lagi nunggu Rio!”, Tessa membalas senyum Muti.
“Denger–denger Mbak Tessa udah tunangan? Kok Muti ngga diundang? Wah, ngga ketahuan pacarannya udah tunangan lagi. Bentar lagi married dong!”, goda Muti. Tessa tersenyum menanggapinya.
“Kata Dea, waktu itu kamu ngga bisa datang karena ada acara keluarga bukan?”
“Oh, iya ya.. Muti lupa! Hehehe!”
“Masa udah pikun lagi. Emang kamu mikirin apa sih sampai lupa sama kejadian yang belum lama?”
“Muti emang lagi lupa diri, mbak! Yang dia inget cuma pemuda terminal.”, sela Dea dengan senyum menggoda. Tessa mengerutkan alisnya tanda kebingungan dengan kata–kata adiknya. “Gini mbak, Muti juga lagi jatuh cinta sekarang. Jadi dia lupa sama yang lain, yang dia inget cuma cowok yang dia temuin di terminal kemaren waktu ujan. Hahaha! Aneh kan?”, Dea masih menganggap apa yang dialami Muti adalah konyol.
“Huh! Dea sirik aja sama aku, mbak! Dia dari tadi ngetawain terus sih. Wajar aja kan kalau aku jatuh cinta sama cowok?”, Muti membela diri.
“Iya wajar aja kok, Mut! Si Dea itu emang suka begitu, ngga pengertian kalau ada orang yang lagi jatuh cinta. Tapi, kalau cowoknya emang baru ketemu kemaren, cepet banget kamu jatuh cintanya. Emangnya siapa namanya?”
“Nah itu dia mbak, Muti ngga tahu nama orang yang udah bikin hatinya jungkir balik kayak gini.”
“Lho? Kok aneh sih. Kamu ngga kenalan sama dia?”
“Mm… lupa, mbak!”, Muti nyengir kuda menyadari kebodohannya.
“Dia emang suka ijo lihat cowok cakep mbak. Makanya dia cepet aja ngambil kesimpulan kalau dia itu jatuh cinta.”, timpal Dea.
“Emangnya yakin bakal ketemu lagi?”, tanya Mbak Tessa dengan nada yang sama saat Dea bertanya seperti itu.
“Kalau soal itu, aku yakin! Banget!”, Muti pun membalasnya dengan nada bersemangat seperti tadi.
“Ya udah deh, mbak doain semoga kamu bisa ketemu lagi sama orangnya!”
“Hehehe! Makasih ya, mbak! Ngomong – ngomong, ntar kenalin aku sama Rio dong!”
“Bentar lagi juga dia datang. Ntar mbak kenalin sama kamu, asal janji kamu ngga bakalan jatuh cinta. Nanti kamu cepet pindah ke lain hati lagi, Rio nya mbak cakep lho. Hehehe!”
“Tenang aja mbak, ngga secepat itu kayaknya Muti bakal berpaling dari si pemuda terminal.”, sindir Dea.
Tiba – tiba terdengar suara deru mesin motor di depan pagar rumah. Ketiga cewek tadi langsung bergegas menghampiri orang yang baru datang itu.
Cowok yang barusan datang itu membuka helmnya tanpa turun dari motor.
“Hai, Dea!”. Sapa cowok itu pada calon adik iparnya.
“Hallo Kak Rio!”, balas Dea.
“Muti, ini Rio tunangannya Mbak Tessa! Dan Yo, ini Muti temennya adikku!”, Tessa memperkenalkan cowok yang ternyata tunangannya pada Muti. Muti tidak berkomentar, dia hanya diam mematung dengan ekspresi melongo seperti orang idiot. Muti merasa seluruh badannya kesemutan dan mati rasa.
“Hai, seneng bisa ketemu lagi. Kamu kelihatan lebih sehat daripada waktu di terminal nunggu hujan kemaren.”, sapa Rio dengan senyum yang sama yang pernah dilihat Muti sebelumnya. Senyum yang sempat membuat hatinya serasa jungkir balik. Muti masih diam juga ketika Rio menyapanya.
“Seneng ketemu lagi?”, Dea keheranan, dia mengulang kata – kata Rio dengan intonasi penuh tanda tanya.
“Kemaren kita ketemu di terminal.”, Rio menjelaskan.
Dea ikut tertegun seperti Muti. Sementara Rio dan Tessa langsung pamit dan pergi dari hadapan keduanya.
“De?”, Muti memanggil tanpa melirik.
“Hm?”
“Ada kerjaan rumah yang belum beres ngga?”, tanya Muti dengan lemasnya.
“Ngga tahu, cek aja! Mungkin di dapur ada piring kotor.”, kata Dea setengah geli namun kasihan juga melihat temannya bersedih dan seperti habis melakukan back roll dengan terpaksa.
Muti langsung membalikkan badan seperti robot dan bergegas pergi ke dapur untuk menumpahkan kesedihannya.
“Wah, kayaknya rumah gue bakal kinclong kalau anak itu sesedih ini. Tapi kasihan juga Muti. Dia jadi patah hati.”, bisik Dea sambil terus memperhatikan Muti berlalu masuk ke dalam rumah.
****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar